Samaa antara Nama dan Langit (2)

Oleh: T. Rosyadi

Lafadz kullaha setelah al-asma, baik artinya keseluruhan yang tak tersisa atau keseluruhan yang mencukupi atau pengetahuan kully yang berbanding dengan juzi, bukan masalah, karena semuannya tidak menolak adanya fitrah kemampuan potensial manusia untuk mengenali seluruh hal yang ia butuhkan.

Pengajaran Allah swt pada nabi Adam as di “jannah azaly” bisa disamakan dengan persaksian suci nafs setiap keturunannya yang tersimpan sebagai fitrah di sumsum tulang belakang (al-A’raf:172).

Fitrah ini, secara tabi’at, mampu mengkonfirmasi dengan tepat hakikat dzati elementer dari setiap hakikat wujud dengan ilham dihni qalbunya, seolah pengetahuan itu talazum atau tadhamun. Inilah yang kemudian dianggap ilmu badhihi atau ilmu dharuri.

Oleh karena itu, dua tugas pertama yang dibebankan pada Adam as setelah ia ‘turun’ ke bumi adalah perintah untuk mengikuti hudan dan tidak kufur degan ayat-ayat-Nya (al-Baqarah: 38 – 39).

Ayat 78  surat al-Nahl  yang menyebut ketiadaan ilmu di awal lahir di dunia harus diartikan sebagai ilmu nadhari, yaitu proses perkembangan tubuh kasar yang menyesuaikan diri dengan wujud alam lahir di sekitarnya, ibarat pembalap profesional yang berlatih mengenal trak pada lapangan baru, ia sudah tahu semua cara mengendari motor, saat lurus atau berbelok, namun ia belum tahu seperti apa prakteknya dalam situasi yang belum  pernah ia alami.

Lapangan baru yang mirip dengan lapangan lama yang pernah ia coba akan lebih ia kuasai daripada lapangan baru yang jauh berbeda atau bila ia belum pernah  sama sekali mencoba satu lapangan pun. Wallahu a’lam.

Mariuk, bada tarawih ke 14 Ramadhan 1443

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *