Qalbun Salim

Oleh: T. Rosyadi

Qalbu sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata ‘hati’. Pengalihbahasaan ini benar bila maknanya adalah ‘diri’ manusia, seperti dalam ungkapan “aku relakan sepenuh hatiku” yang berarti kerelaan jiwa yang akan diikuti oleh sikap dan perbuatan.

Namun pemaknaan hati juga merujuk pada organ tubuh disebelah jantung dan empedu, segumpal daging yang dalam bahasa Inggris disebut liver. Mari kita amati sabda Rasulullah saw berikut:

عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب))؛ متفق عليه.
Dari Nu’man bin Basyir ra. ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya pada tubuh itu ada segumpal daging (yang) bila ia sehat, seluruh tubuh pun akan sehat, bila ia sakit, seluruh tubuh pun akan sakit. Ketahuilah! Dia itu qalbu”” Muttafaq alaih.

Saya pernah menanyakan pada ustad dr. Sony Ramdhani perihal ini, “dok! yang punya kriteria seperti ini, liverkah atau jantung?” beliau menjawab: “jantung!”. Dalam dunia kesehatan, (detak) jantung juga dijadikan alat dalam diagnosa awal, apakah klein dokter itu sehat atau sedang sakit, maka perawat terlebih dulu periksa nadi lengan kiri. Demikian juga ketika memutuskan bahwa seseorang telah meninggal dunia.

Qalbu fisik (jantung) bukanlah pembahasan saya di sini, ahli biologi lebih ahli dalam masalah itu. Yang jadi pembahasan kita adalah ‘jantung bathin; entitas yang dalam Qur`an dan Sunnah disebut dengan qalbu.

Sebagaimana tubuh fisik yang memiliki jantung, telinga dan mata, demikian juga diri bathin memiliki qalbu, udzun (telinga) dan ‘ain (mata). Al-Qur`an mengungkap ini dengan menyangkal kebutaan mata fisik yang menjadi sebab kekufuran, Allah swt berfirman:

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَ رْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَاۤ اَوْ اٰذَا نٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَا ۚ فَاِ نَّهَا لَا تَعْمَى الْاَ بْصَا رُ وَلٰـكِنْ تَعْمَى الْـقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga qalbu mereka dapat berpikir, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalbu yang di dalam dada.”(QS. Al-Hajj 22: Ayat 46)

Bila kita berbicara di dalam hati, tanpa ada suara, getar tenggorokan dan gerak lidah, itu adalah ‘suara hati’ berupa pernyataan atau penyangkalan qalbu terhadap suatu keadaan yang terkadang, berupa tugas memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya, dan terkadang, berupa membenarkan atau mengingkari sesuatu. Udzun qalbu kita bisa ‘mendengar’ ‘suara’ qalbu ini. Hal serupa juga bisa menjadi lebih jelas dalam bentuk visi yang ‘terlihat’ oleh ‘ain qalbu kita, terutama ketika kita tidak atau setengah sadar seperti dalam peristiwa mimpi (ra-a fil manam).

Inilah yang digambarkan Rasulullah saw. dengan istilah qalb thuma`ninah dan hauk nafs dalam berhadapan dengan masalah yang samar:

عن وَابصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رضي الله عنه قالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: “جِئْتَ تَسأَلُ عَنِ الْبِرِّ؟”، قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: “اسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إلَيْهِ الْقَلْب، وَالإِثْمُ مَا حاكَ في النَّفْسِ وَتَردَّدَ في الصَّدْرِ، وَإنْ أَفْتَاكَ النّاسُ وَأَفْتَوْكَ”؛ حَدِيثٌ حَسَنٌ رواه أَحمَد وَالدَّارِميِّ.
Dari Wabishah bin Ma’bad ra, ia berkata: “aku mendatangi Rasulullah saw, beliau bersabda: “kamu datang, apakah mau menanyakan tentang birr?, aku menjawab: “ya!”, beliau bersabda: “mintalah fatwa qalbumu, birr (kebaikan) itu sesuatu yang nafsu dan qalbumu tenang padanya, sedangkan itsm (keburukan/dosa) itu sesuatu yang nafsumu mengganjal dan dadamu bimbang walaupun kamu dan orang-orang memfatwakannya”. HR. Ahmad dan al-Darimi.

Kebimbangan dan sesaknya hati dalam dosa dan bisikan kebenaran hanya di miliki oleh orang beriman yang bersih hatinya; qalbun salim. Karena sikap dan prilaku orang beriman selalu dan terbiasa dalam keshalehan; semakin terbiasa ia dalam kebaikan, maka semakin bersihlah hatinya. Semakin bersih hatinya, maka semakin jelas kebenaran bisikannya. Sebaliknya, semakin banyak dosa yang ia lakukan, maka semakin kotor hatinya. Semakin kotor hatinya, maka semakin banyak dusta bisikannya. Allah swt berfirman:
كَلَّا بَلْ   ۜ  رَا نَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak! Bahkan (dosa) yang mereka kerjakan itu telah menodai (menambah bercak noda ke dalam) qalbu mereka.” (QS. Al-Muthaffifiin 83: Ayat 14).

Karena itu, bisikan yang terdengar dari dalam bathin para pendosa bukan lagi kebenaran, namun waswas syaithan yang menyelinap masuk secara tersembunyi, tapi si pendosa tak menyadarinya. Ia merasa sedang ngomong sendiri, berdialog sendiri, berdebat sendiri padahal ia sedang diskusi dengan syaitan alladzi yuwaswisu fi shudurinnas. Na’udzu birabbinnas, malikinnas, ilahinnas. Amin

Mungkin karena sipatnya yang bathin, tersembunyi, banyak orang, termasuk kaum muslimin, tidak begitu peduli dalam menyehatkan bathin mereka dibandingkan kepeduliannya mengurus kesehatan tubuh fisik, padahal orang beriman yang berhati bersihlah yang akan selamat pada hari ketika harta dan anak (buah) tidak dapat membantu (menyelamatkan)-nya. Allah swt berfirman:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَا لٌ وَّلَا بَنُوْنَ 
اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ 
“(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna,”
“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan qabun salim,” (QS. Asy-Syu’ara’ 26: Ayat 88-89). Wallahu a’lam

Mariuk, 28 Maret 2022 M/ 25 Sya’ban 1443 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *