PERSIS dan Tradisi Literasi

Pada dasawarsa ideologi yakni masa diantara tahun 1920-1930an lahir berbagai ideologi yang mengisi ruang-ruang pemikiran serta mempengaruhi pertumbuhan keagamaan dan perjuangan politik di bumi Nusantara (Fauzan, 2005). Di rentang waktu itulah lahir diantaranya tiga organisasi besar yakni Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (Persis (1923) dan Nahdlatul Ulama (NU) (1926). Jika Muhammadiyah kelahirannya identik dengan spirit sosial, NU  lahir dengan spirit kebangkitan kaum pesantren maka Persis bisa didentikan kelahirannya dengan spirit literasi. Meski pada tataran aksiologi ketiganya berperan dalam banyak hal yang sama dan saling melengkapi satu sama lain. Namun, kelahiran persis yang berangkat dari studi literatur (bacaan) membuatnya lebih kental disebut dengan gerakan pemikiran berbasis literasi ketimbang yang lainnya.

Lahir dari Aktivitas Literasi

Di gang Pakgade sebuah gang kecil di salah satu sudut Kota Bandung sekerumun orang-orang yang diprakarsai oleh Mohamad Zamzam dan Mohamad Yunus dua orang warga Bandung yang keluarga asli berasal dari Palembang melakukan pendalaman intensif terhadap buku-buku pemikiran Islam (Bachtiar, 2019). Mereka mengkaji berbagai kitab dan buku semisal majalah Al-Munir yang terbit di Padang, majalah Al-Manar yang terbit di Mesir serta hangat mendiskusikan berbagai permasalahan yang sedang terjadi seperti pertikaian antara organisasi Al-Iryad dan Jamiatul Khair, komunisme yang memecah belah Sarekat Islam dan lain sebagainya (Noer, 1980). Hingga akhirnya seiring dengan berjalannya waktu kelompok studi ini mengkristalkan pemikirannya terhadap pentingnya keterbukaan ijtihad dan kembali kepada Al-Qur’an dan sunah untuk menjauhkan umat dari kejumudan. Maka lahirlah Persis di tangan Mohamad Zamzam dan Mohamad Yunus serta nama-nama lainnya seperti H. Agil, Sobirin, Munaf dan Syarif pada tanggal 12 September 1923 sebagai organisasi keagamaan Islam (Bachtiar dan Fauzan, 2019).

Tiga tahun kemudian A. Hassan seorang katurunan Indonesia-India yang lahir di Singapura bergabung dengan Persis. Kebernasan A. Hassan dalam pemikiran membuatnya semakin mewarnai organisasi Persis yang baru tiga tahun berdiri. Tercatat beberapa nama penting menyusul bergabung dengan Persis baik secara organisasi maupun keterlibatan dalam kajian-kajian yang dilakukan. Mereka adalah M. Natsir, Munawar Cholil, Fakhruddin Al-Khahiri, A.A. banama, Rusyad Nurdin, M. Isa Anshary dan E. Abdurahman. Federspiel dalam Bachtiar dan Fauzan (2019) bahkan menyebutkan ada nama Hamka dan Hasbi Ash-Shiddiqqy tergabung dalam organasasi ini.

Berkembang Melalui Publikasi Literasi

Aktivitas Persis semakin berkembang dan mempengaruhi ruang-ruang pemikiran keagamaan ketika A. Hassan mendokumentasikan dan mempublikasikan pemikirannya dalam berbagai media seperti buku, majalah-majalah, famplet-famplet dan korespondensi dengan berbagai tokoh penting. Kedekatan Sukarno denga A. Hassan  yang dijadikannnya sebagai guru spiritual terdokumentasi dalam korespondensi diantara keduanya.

Kala itu A. Hassan bersama aktivis persis lainnya menyebarkan tulisannya melalui pasang surutnya empat majalah yang diterbitkan yaitu Pembela Islam, At-Fatwa, Al-Lisaan dan Al-Taqwa.

Pembela Islam terbit pada tahun 1929 sampai dengan 1933 yang sirkulasinya mencapai 2000 eksemplar. Majalah ini tersebar luas dan bahkan menjadi rujukan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al-Irsyad di Sulawesi, Kalimantan, Minangkabau dan Jawa Barat. November 1931 didirikan pula Majalah Al-Fatwa sebuah majalah berbahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf jawi. Sirkulasinya mencapai 1000 eksemplar tersebar ke 100 pelanggan yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Majalah ini bertahan hingga 20 nomor.  Kemudian muncul majalah Al-Lisaan yang diharapkan mampu menggantikan majalah Pembela Islam. Majalah ini terbit pada tahun 1935 dengan sirkulasinya mencapai 2000 eksemplar namun terhenti disebabkan oleh kondisi yang tidak stabil karena pendudukan Jepang di Indonesia. AdapunAl-Taqwa majalah berbahasa sundasecara khusus diprakarsai K.H. E. Abdurrahman dan Qomarudin pada tahun 1930. Majalah ini terbit 1000 eksemplar dan berhenti pada terbitkan ke-20. (Noer, 1980).

Pada majalah-majalah tersebut aktivis Persis dengan simbol guru besarnya yaitu A. Hassan menyampaikan berbagai pemikiran mengenai spirit kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah yang secara tidak langsung berlawanan dengan kejumuduan berfikir, taqlid buta terhadap otoritas keagamaan (Kyai, Ajengan) dan pada akibatnya mengganggu feodalisme kepemimpinan tradisional keagamaan yang sudah lama hidup dalam kehidupan keberagamaan masyarakat Islam Jawa. Sementara itu M. Natsir  lebih banyak berbicara tentang kebangsaan. Adapun Munawar Chalil turut menyumbangkan pemikirannya dalam rubrik “Sual-Djawab” khusus mengenai permasalahan fatwa hukum (Bachtiar dan Fauzan, 2019).

Bersamaan dengan itu aktivitas dakwah berbasis literasi ini terus berkembang seiring dengan lahirnya buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh aktivis Persis yang secara signifikan juga mempengaruhi pembentukan identitas organisasi ini sebagai organisasi yang kental dengan nuansa dakwah bil-kitabah.

Dalam bukunya yang berjudul “Studen Over De Geschiedenis Van De Islam in Indonesia 1900-1950” terbit tahun 1977 Dr. G. Pijper menyebutkan bahwa A. Hassan ibarat batang-batang padi yang mencuat ke atas sawah Priyangan yang subur. Kalimat itu ia utarakan sebagai bentuk kekagumannya terhadap A. Hassan yang memiliki banyak karya tulis (Akbar, 2019).

Dari sekian banyak karya-karya A. Hassan dalam bentuk buku yang menjadi rujukan banyak masyarakat baik dari kalangan intelektual maupun umum yaitu Tafsiq Al-Furqon, Soal Jawab, Terjemah Bulughul Maram, Pengajaran Shalat dan Shorof. Tafsir Al-Furqon dicetak di percetakan Drukerij Economy milik orang Tionghoa pada tahun 1928.

M. Natsir juga mengikuti jejak gurunya A. Hassan yang banyak mempublikasikan pemikirannya melalui majalah dan buku. Natsir tercatat pernah menulis dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu artikel berjudul Qur’an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi) pada tahun 1929. (Hakiem, 2019).

Sementara itu Natsir juga menulis buku “Fiqhud Dakwah” yang diterbitkan belasan kali sejak tahun 1969, Islam Akal Merdeka, Islam sebagai dasar negara, “Capita Selecta” dan masih banyak lagi. Zainal Abidin Ahmad pada pengantar buku “Capita Selecta”, ia mengungkapkan bahwa,

”Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya tersendiri itu, melainkan lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.” 

Di Bidang Fiqih K.H. E. Abdurrahman banyak membuat tulisan-tulisan di majalah bertujuan untuk menjawab persoalan keumatan. Beliau juga menghasilkan karya diantaranya “Risalah Wanita”, “Dirayah Ilmu Hadits”, “Renungan Tarikh”, “Jihad dan Qital”, “Darul Islam”, “Perbandingan Madzhab” dan lain-lain.

Pada generasi selanjutnya ada nama ulama senior Allahuyarhamhu KH. Aceng Zakaria dan Prof. Dadan Wildan yang sangat banyak menghiasi khazanah literasi di Persis melalui buku-buku karyanya. Disusul dengan nama-nama muda seperti Dr. Tiar Anwar Bachtiar, Dr. Nashrudin Syarief, Dr. Pepen Irfan Fauzan, Prof. Jajang A. Rohmana serta nama-nama muda lainnya.

Bertahan Karena Tradisi Literasi

Penggunaan pendekatan literasi (literacy approach) atau dalam literatur ilmu dakwah disebut dengan dakwah bil-kitabah juga menjadi bagian penting dari cara persis dalam mendidik umat. Mohammad Natsir mengharuskan para dai agar memiliki keterampilan dalam menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur, dan atau siaran lain yang terutama ditujukan untuk memperlengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil dakwah. (Bachtiar, 2017).

Usaha ini nampaknya menjadi aktivitas yang konsisten di Persis. Berbagai penerbitan buku dan majalah terus dilakukan hingga literasi menjadi sesuatu yang mentradisi di organisasi Persis.

Sesuatu dikatakan telah menjadi tradisi apabila dipertahankan oleh setiap anggota masyarakat dan dikomunikasikan dari satu generasi kepada yang lain dalam rantai makna yang meliputi kenangan kolektif, representasi kolektif dan kebiasaan untuk melakukan sesuatu (scott [ed], 2006). Atas timbangan itu maka aktivitas literasi di Persis sudah memenuhi kriteria sebagai sesuatu yang telah mentradisi. Hal ini terbukti dengan keberadaan majalah Risalah sejak kelahirannya tahun pada tahun 1962 sebagai majalah resmi organisasi Persis melanjutkan majalah-majaleh sebelumnya yang pernah ada. Majalah ini yang diprakarsai oleh Junus Anies dan K.H. E. Abdurrahman ini mampu bertahan hingga hari ini karena terus menjadi bahan bacaan, alat komunikasi, publikasi organisasi serta rujukan permasalahan keumatan di kalangan masyarakat Persis baik anggota maupun simpatisan yang terus berlangsung secara rutin. Risalah tidak kurang dari 4500an oplah terbit setiap bulannya.

Keberadaan Risalah yang terus dikonusmisi oleh publik hingga hari ini mencatatkan namanya sebagai majalah dakwah kedua yang berhasil bertahan setelah majalah dakwah  Soeara Muhammadiyah (SM).

Untuk menjawab tantangan zaman dan agar terus bisa bertahan di era digital pada tahun 2021 majalah Risalah mulai melakukan publikasi berbasis digital. Majalah risalah dalam bentuk laman digital bisa diakses oleh masyarakat melalui portal myedisi.com. Sebuah riset berjudul “Senjakala Media Cetak: Tantangan Jurnalisme Cetak di Era Digital” pada Jurnal Trilogi (2021) menyatakan bahwa pada tahun 2044 akan terjadi penetrasi yang kuat dari dunia online yang secara massif akan menggerus keberadaan media komunikasi dan informasi cetak. Oleh karena itu, migrasi secara bertahap dari cetak ke digital yang dilakukan oleh jajaran redaksi majalah Risalah ini merupakan langkah yang amat tepat. Berharap ajaran Dakwah Quran Sunah yang dilakukan oleh Persis akan tetap terus eksis. Pada gilirannya kita akan melihat suatu simbiosis mutualisme sunatullah: Persis menjaga literasi dan literasi menjaga Persis.

Agus S. Saefullah, M.Pd

Sekretaris PD. Pemuda Persis Sumedang

Tenaga Pengajar Mahad Aly Al-Asma Sumedang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *