Oleh: Agus Susilo Saefullah
Sekretaris PD. Pemuda Persis Kab. Sumedang
Dr. Jeje Zenudin dalam bukunya Fiqih Dakwah Jam’iyyah mendefinisikan dakwah sebagai “suatu usaha yang disengaja dan direncanakan secara sistematis dalam mengajak, menunjukan, menuntun, membimbing manusia ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala”(Zainudin, 2012)
Definisi tersebut didasarkan dari firman Allah,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran: 104)
Diskursus mengenai dakwah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Mohammad Natsir. Ulama yang pernah mengenyam pendidikan Belanda di Algemene Middelbare School (AMS) Bandung yang juga merupakan Murid A. Hassan ini merupakan tokoh Persatuan Islam yang cukup besar perhatiannya tehadap Dakwah (Wildan, 1997). Karena itu, ia aktif terjun langsung ke lapangan sebagai pendakwah. Sejak muda ia aktif mengajar sebagai guru agama islam di Holland Inlande Kweekschool (HIK) dan Mulo di Bandung, mendirikan sekolah Pendis, menulis di majalah Pembela Islam dan sederet aktivitas dakwah lainnya (Noer, 1982).
Agar kekuatan dakwah semakin besar, Natsir juga menulis buku yang konsentrasi terhadap pendidikan para mubaligh dengan judul “Fiqhud Dakwah”.
Buku “Fiqhud Dakwah” yang pembedah miliki merupakan buku cetakan keempat yang terbit pada tahun 1983 oleh penerbit Media Dakwah Jakarta Pusat.
Buku ini memiliki tebal sebanyak 286 halaman yang terdiri dari sembilan tema pembahasan dan dipartisi menjadi dua bagian. Pembahasannya sangat apik dan runut, membutuhkan cukup banyak waktu untuk membedah buku ini hingga rinci. Karena itu, pembedah hanya menyoroti satu hal saja yaitu tentang “persiapan dakwah”.
Dalam buku Fiqhud Dakwah tersebut, Mohammad Natsir menyatakan bahwa,
Dakwah dalam arti amar ma’ruf nahyi munkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawa fitrah manusia selaku social being, (makhluq ijtimaie); dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah: Kitabullah dan Sunnah Rasul. (Natsir, 1983)
Kewajiban dakwah dalam pandangan Natsir adalah kewajiban bagi setiap muslim sebagaimana ia menafsirkannya dari Qur’an Surat Al-ashr. Bahwa setiap manusia memikul kewajiban untuk menyeru manusia pada haq dan melarang pada kebatilan. Natsir menegaskan bahwa dakwah “Bukan monopoli golongan yang disebut Ulama atau cerdik-cendikiawan”. (Natsir, 1983)
Pernyataan Natsir ini tentu saja tidak diartikan bahwa setiap manusia harus jadi penceramah atau khatib di atas mimbar, melainkan seluruh manusia wajib berdakwah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing. Pokok dari pernyataan Natsir tentang kewajiban dakwah bagi setiap muslim adalah anggota masyarakat tidak boleh acuh tak acuh ketika terjadi kemungkaran yang merajalela. Suatu masyarakat harus proaktif dalam amar ma’ruf nahyi munkar. Kewajiban tersebut diperingatkan oleh Natsir dengan mengutip ayat berikut,
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”(Q.S. Al-Anfal [8] : 25)
Pernyataan Natsir tersebut senada dengan apa yang disampaikan Ibnu Taimiyah berikut,
Setiap muslim yang sudah baligh dan berakal sehat wajib berdakwah menurut kesanggupannya dan caranya masing-masing. Dan apabila telah tertunaikan dengan sempurna oleh sekelompok orang muslim di suatau tempat maka muslim yang lain terlepas dari dosa jika tidak melakukannya (Zainudin 2012).
Sebagai gerakan penyelamatan umat, Natsir merumuskan tujuan dari dakwah sebagai berikut,
(1) Memanggil kita kepada syariat, untuk memecahkan persoalan hidup, baik persoalan hidup perorangan atau persoalan berumah tangga, berjama’ah-bermasyarakat, berbagsa-bersuku bangsa, bernegara, berantarnegara. (2) Memanggil kita kepada fungsi hidup sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas ini, berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola pendirian dan kepercayaan yakni fungsi sebagai syuhada’ala an-nas, menjadi pelopor dan pengawas bagi umat manusia. (3) Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang hakiki, yakni menyembah Allah. (Mubasyaroh, 2013)
Keseriusan Natsir dalam dunia dakwah dibuktikan dengan agenda-agenda penyebaran da’i ke berbagai pelosok krisis da’i serta rawan pemurtadan dan aliran sesat. Bersama para aktivis lainnya baik di DDII maupun Persatuan Islam (PERSIS) Natsir melakukan berbagai persiapan dakwah berupa kaderisasi agar para da’i siap menghadapi berbagai tantangan dakwah yang akan terjadi di lapangan.
Usaha konkret yang dilakukan Natsir diantaranya diprogramkan dan direalisasikan bersama di DDII sebagai berikut,
(1) Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi muballighin dan calon-calon muballighin. (2) Mengadakan research (penelitian) atau membantu mengadakan penelitian, yang hasilnya dapat segera dimanfaatkan bagi perlengkapan usaha para muballighin pada umumnya. (3) Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur, dan atau siaran lain yang terutama ditujukan untuk memperlengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-kekosongan di bidang lektur, yang khusus diperlukan dalam masyarakat (Bachtiar 2017).
Tujuan dari pelatihan dimaksudkan agar da’i memiliki tiga kompetensi utama yaitu mental, keilmuan, dan adab da’wah. (Natsir, 1983)
Pertama, persiapan mental yaitu bahwa para da’i akan mengahadapi berbagai tantangan baik berupa tantangan yang terlihat manis yang berpotensi membuat kita menggeser niat dan keikhlasan dan tantangan-tantangan yang terlihat pahit yang bisa membuat kita lelah dan putus asa, maka tentu ini harus dihadapai dengan mental yang kuat. Natsir mendasarkan persiapan metal ini kepada ayat berikut,
المص (١) كِتَابٌ أُنْزِلَ إِلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ مِنْهُ لِتُنْذِرَ بِهِ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Alif laam mim shaad, Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Al-A’raf [7]: 1-2)
Kedua, persiapan ilmiah yaitu berupa pemahaman taffaquh fiddin (pemahaman tentang agama), tafaquh finnas (pemahaman tentang manusia dengan segala fitrahnya sebagai objek dakwah), bahasa Al-Qur’an dan bahasa pengantar. Keempat hal ini adalah modal minimal yang harus dimilki setiap da’i.
Ketiga, persiapan kaifiyat adab dakwah yaitu pemahaman tentang tara cara, strategi sistematis, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang melingkupi seputar pergerakan dakwah. Mohammad Natsir dari tafsir Muhammad Abduh dalam Al-Manar terhadap ayat Q.S An-Nahl ayat 125 sebagai berikut,
(1) Ada golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereke ini harus dipanggil dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan aqal mereka. (2) Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mauizhatun hasanah, dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dengan ajaran-ajaran yang mudah difaham. (3) Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak akan sesuai pula, bila dilayani seperti golongan awam; mereka suka membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas yang tertentu tidak sanggup mendalami benar. Mereka dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahasan; yakni dengan bertukar fikiran, gua mendorong supaya berfikir secara sehat, dan satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.
Dengan diterapkannya kaderisasi da’i besar harapan sebagaimana diungkapkan Mubasyaroh, bahwa da’i harus menciptakan kondisi berikut,
(a) ajakan dakwah kepada umat hendaknya bersih dari rasa benci dan permusuhan, (b) tutur kata maupun ucapan para pelaku dakwah harus bersendikan akhlak karimah, (c) menjauhi sifat suka menuding dan saling mengkafirkan, apalagi terkesan membuka aib sesama manusia, (d) menciptakan kondisi yang bersahabat dan akrab dengan para obyek dakwah agar mereka memiliki rasa melu handar beni ikut merasa bertanggung jawab untuk meneruskan pesan tersebut kepada teman-temannya yang lain sebagai kelanutan infomasi dakwah yang diterimanya.(Mubasyaroh 2013).
Referensi Utama
Natsir, Mohammad. 1983. Fiqhud Da’wah. Jakarta: Media Da’wah.
Referensi Pembantu
Bachtiar, Tiar Anwar. 2017. Setengah Abad Dewan Da’Wah Berkiprah Mengokohkan Nkri. Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Mubasyaroh. 2013. “M. Natsir Dan Pandangannya Tentang Dakwah Dalam Buku Fiqhud Dakwah.” At-Tabsyir 1: 139–62.
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1990-1942. Jakarta: LP3ES.
Wildan, Dadan. 1997. Yang Da’i Yang Politikus. Bandung: Rosda.
Zainudin, Jeje. 2012. Fiqih Dakwah Jam’iyyah. Jakarta: Pembela Islam Media.