Moh. Natsir: Cermin Kader Persis Moderat

Oleh: Naufal A.

“Natsir terkenal seorang golongan kaum ,,muda” dan ,,Wahhaby” dengan huruf besar, tetapi ,,muda” dan ,,Wahhaby”nja tidak mendjadikan dirinja tidak disukai golongan jang dinamakan kolot dan kuno”. – K.H. Isa Anshary dalam tulisan “Natsir Pegang Pimpinan” di majalah Aliran Islam, No. 14, Th. III, Desember 1949

Mohammad Natsir (1908-1993) yang namanya biasa ditulis M. Natsir dan terkadang Moh. Natsir atau Mohd. Natsir, merupakan salah seorang figur dan pemimpin Islam Indonesia terkemuka. Dibesarkan di lingkungan keluarga Minangkabau yang religius membuat Natsir terjaga dari arus westernisasi kebijakan Politik Etis pada awal abad ke-20.

Natsir sebagai anak lelaki pegawai rendahan kolonial dikirim untuk bersekolah di HIS dan MULO Minangkabau. Aktivitas belajar di sekolah Belanda tidak menyebabkan Natsir luput akan kewajiban utamanya. Ia tetap menyempatkan separuh waktunya untuk mengaji kepada sejumlah ustaz di surau kampung halamannya.

Natsir dapat menyelesaikan pendidikannya di HIS dan MULO dengan hasil yang memuaskan. Walaupun, dilahirkan ke dunia sebagai anak pribumi, Natsir membuktikan bahwa inlander yang dianggap hina oleh kebanyakan orang Belanda rupanya mampu meraih hasil belajar yang tinggi. Sebagai lulusan yang berprestasi, ia pun mendapatkan beasiswa pendidikan untuk jenjang pendidikan berikutnya. Lantas, Natsir memilih AMS, sekolah menengah umum Belanda yang terletak di Bandung sebagai tujuan lanjutan sekolahnya.

Bandung: Saksi Hidup Hubungan Seorang Murid dan Guru

Bandung rupanya menjadi saksi perubahan arah hidup Natsir. Seperti yang pernah dilakukannya di kampung halaman dahulu, Natsir tetap menyempatkan sebagian waktunya untuk memperdalam ilmu agama. Di kota itulah hasrat mengaji Natsir timbul begitu tinggi, melampaui semangat mengajinya ketika di Minangkabau.

Hal demikian terjadi pada Natsir bukannya tanpa alasan. Ketertarikannya pada ilmu agama semakin tinggi, setelah ia berjumpa dengan seorang pria kelahiran Singapura, bernama Ahmad Hassan menjelang 1930-an. Saat itu, nama A. Hassan sedang naik daun sebagai guru organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung.

Persis dibentuk di Bandung pada 12 September 1923 oleh sejumlah saudagar dari Palembang, pemukanya yang populer di antaranya adalah H. Zamzam dan H. Mohammad Junus. Sebagai organisasi Islam, Persis berkomitmen untuk mempromosikan ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Tak hanya itu, Persis bertekad untuk mengikis pemahaman umat Islam dari anasir-anasir non-Islam atau dengan istilah lain bertujuan memurnikan ajaran Islam sebagaimana ia baru dibawa oleh Rasulullah Saw.

Sejak akhir 1920-an, Persis memang sedang gencar melakukan berbagai propaganda dakwah di Bandung dengan menggunakan pendekatan dan beberapa metode yang tidak lazim pada zamannya. Misalnya, Persis berdakwah melalui penerbitan tulisan di media massa seperti majalah Pembela Islam, Al-Lisaan, Al-Fatwa, dan At-Taqwa, menerbitkan buku-buku keislaman, serta menggelar perdebatan-perdebatan publik dengan sejumlah tokoh lintas paham bahkan agama.

Hubungan Natsir dengan A. Hassan semakin akrab tanpa menunggu waktu yang lama. Natsir melalui wawancaranya yang diabadikan  dalam Pesan Perjuangan Seorang Bapak (2019) mengaku tertarik dengan pola pendekatan dan metode dakwah yang dibangun oleh A. Hassan. Di bawah asuhan guru Persis itu Natsir tumbuh menjadi salah seorang kader muda Persis yang kritis. Natsir pernah “menyambut” propaganda anti-Islam yang dilancarkan seorang misionaris Belanda dan sempat berpolemik panjang dengan Ir. Sukarno melalui media massa pada 1930-an.

Ungkapan Sahabat Natsir

Sekali pun A. Hassan dikenal sebagai guru Natsir yang kritis, amat disiplin, dan tidak kenal kata “kompromi” dengan praktik-praktik keagamaan yang tidak dijumpai penjelasannya dalam Al-Qur’an maupun hadis. Dalam menghadapi perkara semacam itu, nampaknya Natsir memilih jalan yang berlainan dengan gurunya.

Natsir adalah pribadi yang luwes dalam menghadapi perbedaan pemikiran dan praktik keagamaan di kalangan umat Islam. Modernisme yang diserap Natsir sewaktu belajar di sekolah Belanda berpadu dengan ajaran agama yang telah ia pelajari baik di Bandung maupun di kampung halamannya. Natsir bagaikan jembatan pemikiran kaum muda Islam yang progresif dengan sebagian ulama yang cenderung konservatif.

Sifat itu digambarkan oleh K.H. Isa Anshary, sesama kader Persis dan murid Tuan A. Hassan, dalam sebuah tulisan berjudul “Natsir Pegang Pimpinan” di majalah Aliran Islam No. 14, Th. III yang terbit pada Desember 1949. Ia mengulas sifat Natsir, manakala sahabatnya itu didaulat menjadi Ketua Umum Masyumi dalam Muktamar Masyumi di Yogyakarta pada 1949.

“Dipandang dari sudut pandang perselisihan faham Ummat Islam dalam tjabang (furu’) agama, pribadi Natsir dapat mendjadi ,,mushlih” dalam erti jang sedalam-dalamnja. Memang, memimpin ummat Islam jang berdjenis-djenis tingkatan pikirannja dan berbagai corak faham furu’ agamanja menghendaki kebidjaksanaan jang utama.”

Mohammad Natsir pada 1954. (Sumber gambar: Reproduksi buku M. Natsir Sebuah Biografi karangan Ajip Rosidi).

Istilah “mushlih” yang dimaksud K.H. Isa Anshary mengandung makna yang positif atas akhlak Natsir. Sebagai rekan seperjuangan Natsir, K.H. Isa Anshary menyatakan bahwa Natsir adalah figur yang pantas untuk menjadi penengah arus perselisihan paham di kalangan umat Islam yang dapat bergolak sewaktu-waktu.

Dalam uraian paragraf sebelum itu, K.H. Isa Anshary menyatakan Natsir sebagai pribadi yang toleran dan lemah lembut. Ia menilai dua sifat itu sebagai sebagian kecil kekurangan Natsir.

“Orang djauh dan dekat mengenal pula tenggang-menenggangnja (toleran) dan kelemahannja.  Kalau kelemahan dan tenggang menenggang ini dapat dinamakan tjatjat , itulah tjatjatnja.”

K.H. Isa Anshary dengan gaya bahasa yang khas menerangkan bahwa meskipun Natsir termasuk pada kelompok yang menghendaki praktik pemurnian ajaran Islam. Namun, keyakinannya itu, tidak menyebabkan Natsir mengambil posisi berlawanan dengan kelompok yang tidak sepaham dengannya.

“Natsir terkenal seorang golongan kaum ,,muda” dan ,,Wahhaby” dengan huruf besar, tetapi ,,muda” dan ,,Wahhaby”nja tidak mendjadikan dirinja tidak disukai golongan jang dinamakan kolot dan kuno”.

Natsir konsisten akan keyakinannya tentang cita-cita pemurnian Islam. Namun, ia cenderung dapat memaklumi berbagai bentuk persoalan furu’iyah (cabang agama) dan menjauhi segala bentuk potensi konfrontasi yang dapat menegangkan urat syaraf sesama saudaranya.

Disenangi Kawan Lintas Paham

Keluwesan Natsir dalam menghadapi perbedaan paham di antara umat Islam membuatnya disenangi oleh para pemuka umat Islam yang secara ideologis tidak sepaham dengannya. Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir (2019) menyebutkan bahwa sosok yang pertama kali merekomendasikan Natsir untuk menjadi Ketua Umum Masyumi pada Muktamar Masyumi ke-IV di Yogyakarta pada Desember 1949, ialah K.H. Abdul Wahid Hasyim, kiai muda NU sekaligus putra Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari.

Putra Rais Akbar pertama NU itu dikenal bersahabat dengan Natsir. Tamar Djaja dan K.H. Isa Anshary menggambarkan persahabatan kedua tokoh tersebut dalam buku Sejarah Hidup K.H. Wahid Hasjim (2013) karangan H. Aboebakar. Dari ulasan kedua orang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Natsir dan Wahid Hasyim, memiliki hubungan yang sangat erat. Selain itu, kedua figur tersebut memiliki pengaruh yang besar, khususnya di organisasi tempat mereka dididik dan umumnya seluruh umat Islam di Indonesia. Bahkan, K.H. Wahid Hasyim menjadi pimpinan NU yang intens berkomunikasi dengan Natsir selaku Ketua Umum Masyumi, pada saat proses pemisahan NU dari Masyumi maupun setelah NU berubah menjadi partai politik tersendiri pada 1952.

Natsir juga tak hanya dikenal bersahabat dengan K.H. Wahid Hasyim. Ia juga dikenal bersahabat dengan K.H. Masykur, salah seorang pimpinan NU dan bekas pemimpin Hizbullah. Lukman Hakiem dalam Utang Republik pada Islam (2021) menyatakan bahwa Natsir dan K.H. Masykur, keduanya membentuk Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). Hakiem juga menerangkan baik Natsir maupun Kiai Masykur, keduanya kerap kali saling berkunjung ke kantor atau kediamannya.

Sikap moderat Natsir dalam kapasitasnya selaku kader Persis patut menjadi teladan bagi para aktivis dakwah berikutnya.  Keluwesan bersikap Natsir perlu dihayati dengan baik sekaligus kritis. Sikapnya yang luwes pada sesama saudaranya, tidak dapat disamakan dengan sikapnya dalam menentang kebatilan. Ia tetap menjadi singa yang garang manakala berhadapan dengan ancaman dan gangguan yang ditujukan pada umat Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *