Entah kenapa merasa sulit untuk menuliskan rasa dan pikiran ini. Sebetulnya ada apa? Aku hanya bertanya. Boleh kah? Ingin rasanya memiliki hasil, buah tangan. Yang mendayu-dayu, bak penyair kelas kakap. Selalu aku coba dan selalu aku paksakan. Tangan-tangan seperti Isa Anshary dalam Magnum Ofus nya “Mujahid Dakwah”. Sangat sempurna menyihir pembaca, terasa hadir di hadapan beliau yang membara disinggasana podium. Kemudian latihan semacam apa sebetulnya yang dapat menggetarkan jiwa hanya dengan kosa-kata sederhana. Layaknya Rons Imawan dalam Novel-nya “Langit Merbabu” misalnya.
Atau buku bacaan seperti apa sebetulnya?! Yang mampu membuat tulisan kita renyah dan tidak membosankan, seperti kumpulan cerpen eka kurniawan pada bukunya yang berjudul “wanita yang menemukan cintanya lewat mimpi”. Dan rangkaian diksi yang mana, agar rasa sedih dan gembira terejawantahkan bak tulisan taufiqurahman Al-azizy pada novelnya “Kitab Suci cinta Zulaikha dan yusuf”. Bagaimana ?! sebab seorang pembaca adalah saksi dari keindahan sastra, sehingga tidak bisa untuk tidak berfikir tentang keagungan kata, kalimat, dan paragraf.
Setelah berkontemplasi, kembali merefleksi segala hal tentang persoalan ini. Akhirnya jawaban berlabuh pada dua hal berbentuk aktivitas. Membaca dan menulis. Sebagaimana kuntowijoyo yang mengatakan dalam novelnya “Hampir sebuah subversi” tentang perjalanan beliau menjadi penulis yang handal. Beliau ber-ujar, utuk pandai menulis itu tahapan nya, pertama menulis kedua menulis ketiga menulis. Ya, inilah yang memberhentikan berbagai pertanyaan saya di mula. Sebetulnya dengan terus menulis kemampuan itu akan terasah dan terkuasai.
Kemudian titik terang saya temukan pula pada lembar Thulabuna Maajalah Risalah No 12 th, 58-Maret 2021. Bahwa mulai menulis artinya mulai membaca, sebab kesulitan pertama yang saya alami adalah ketidakadaan Narasi dalam pikiran. Hingga sulit untuk untuk membuat sebuah paragraf. Namun sebaliknya bila kita sudah terbiasa hingga berbagai literatur kita baca. Setiap palagraf yang kita tuliskan akan selalu melahirkan paragraf-paragraf berikutnya. Dan tak kalah penting adalah konsistensi dan militansi dalam hal ini. Meminjam istilah Firman Sholihin “Konsistensi adalah kesetiaan dan militansi adalah keIstiqamahan”.
Oleh karena demikian, penulis sangat terkesiap menghadapi kenyataan. Sebab sadar penuh akan kecacatan sebagian mahasiswa hari ini, yang tak jauh beda dengan anak SD. Gugup dan gagap dalam membaca, tabu dan kaku dalam menulis. Karena mereka tak mampu mengahadapi segala tantangan yang saya alami. Tidak berhasrat untuk merasakan nikmatnya jari bergoyang di atas kertas dan cekatan di papan abjad(keyboard). Waktu luang habis bersama uang, raga sehat lupa amanat. Maka kiranya inilah sebuah tulisan yang sengaja di sajikan laksana setetes air di tengah sahara.
Dengan demikian kenalilah diri ini. Wahai teman, jadi apa sih yang kalian ketahui? tentang diri? Kita sering mengatakan “harus tau diri”, atau “harga diri”, dan banyak lagi. Sekarang saya ingin bertanya, Apasih diri itu? Bagaimana hal yang disebut Harga diri itu? , jujur saja hari ini saya sedang tidak berdamai dengan diri sendiri, rasanya lelah, cemas, melihat mereka sudah maju lebih dulu menggapai yang dicita-citakannya? Dan saya masih saja begini, semakin membuat ragu.
Ataukah kalian sedang sama merasakannya? Atau kalian hanya sedang mentertawakan saya yang semakin hari semakin terpuruk ini?, ah sialan. Dunia ini kejam ya. Tapi begitulah, saya selalu diselamatkan oleh keimanan. Ia selalu membawa saya hangat kembali, membawa pada rasa yang tersimpan dalam. Ia sering mengingatkan pada saya agar tetap setia tunduk, apapun masalah nya. Ini hal yang sangat berharga, saya harap kalian memilikinya.
Manusia memang tidak ada puasnya, seperti kata pepatah. “Dikasih hati, minta jantung”. Kejam, ya. Begitulah manusia memporakporandakan cinta, “Habis manis, pahitnya dibuang”. Entah apa yang mereka cari. Padahal sudah mereka ketahui bahwa, Hawa Nafsu itu adalah lautan dalam, yang mustahil ditemukan dasarnya. Kemanapun kita pergi, dimanapun kita berposisi, bila Nafsu yang menemaninya. Niscaya kedamaian tidak akan ada. Berdamailah dengan diri.
Sedikitnya, kita mulai paham. Ternyata ini masalah Hawa Nafsu, nafsu yang kotor dan tidak menuntun pada kedamaian. Sangat sukar utuk dikendalikan. Rumit, pahit, dan sakit. Tapi begitulah aku bangkit. Melalui proses ini, semakin mengerti bahwa kuncinya adalah berdamai dengan diri. Diri ini yang menjadi kawanmu, setia menjadi budak dan pelayan. Senang hati tanpa di gaji.
Diri ini yang kita gunakan, tangan untuk mengenggam, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar. Semua memiliki hak masing-masing, yang tak jarang kita abaikan. Karena Hawa dan Nafsu kita. Sehingga tangan suci, yang ingin menggenggam Mushaf. Kita tak izinkan, padahal seharian penuh kita pekerjakan ia. Kita lalai pada haknya. Penglihatannya pun demikian kejam, kita paksa untuk jauh dari yang berpahala, mempekerjakan pada hal yang berdosa.
Kita lalai kembali, memberikan kesempatan untuk memperlihatkan padanya Mushaf. Semakin jauh, semakin lusuh. Tinggal pendengaran saja, yang dicipatakannya begitu, mau tak mau, kita tidak bisa menyumbatnya kalau-kalau Adzan, berkumandang. Terpaksa dan alamiah saja, memberikan secercah penerangan. Tersisa pilihan kita, kembali. Atau tetap berdiam diri. Begitulah si diri itu, yang haru kita ketahui, yang harus kita hargai. Pepatah melayu mengatakan “laut sakit, rantau bertuah”. Diri kita adalah laut, dunia ini adalah rantauannya.
Jadi, berdamailah. Kesalahan jangan di ingat, terus kedepan fokus memperbaiki. Percayalah, Allah Swt selalu menyertai. Jadilah diri yang berprinsip, temukan jalan mu. Hidup ini telah digariskan-Nya. Presiden tidak lebih mulia dari tukang becak, doktor tidak lebih mulia dari petani, saudagar tidak lebih mulia dari pengemis. Kita semua sama, yang membedakan hanya Aktivitas kita. Apakah kebaikan yang dominan, atau pengkhianatan?, pada tubuh sebagai titipan. wassalam
Penulis; Ahmad Albar, Bid. Pendidikan BEM Ma'had Aly Al-asma Sumedang
bagus lanjutkan anak muda