Memuraja’ah  Fitrah dan Falsafah Pendidikan Persatuan Islam: Pengantar Pendidikan Ideal Persatuan Islam

Oleh: Naufal Syauqi Fauzani, Lc.

Bidang Pendidikan PD. Pemuda Persis Sumedang

Pendahuluan

Pada tahun 1923 Persatuan Islam (PERSIS) lahir sebagai organisasi yang memiliki semangat tajdid (pembaharuan) untuk mengobati penyakit Takhayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC). Semangat dan ruh inilah yang pada akhirnya PERSIS menjadi jam’iyyah yang fokus pada dunia Dakwah dan Pendidikan, karena dengan dakwah  narasi yang PERSIS hadirkan bisa tersampaikan. Akan tetapi, dakwah tidak bisa terlaksana secara maksimal kecuali dengan ilmu, yang mana ilmu itu tercapai karena adanya pendidikan. Maka dari pada itu langkah yang dipilih oleh PERSIS sudah sangat tepat (sebagai organisasi dakwah dan pendidikan).

Dunia dakwah dan pendidikan sudah layaknya laksana gula dan manisnya, garam dan asinnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana hal ini tercatat dalam sejarah ketika Nabi Muhammad saw. berdakwah, maka tidak lupa menyiapkan para sahabat sebagai kader yang akan melanjutkan estafeta dakwah Rasulullah saw., dengan mendidik mereka semua dengan sebaik-baiknya pendidikan. Artinya pendidikan ini menjadi sanad (Red-sandaran) untuk mengembangkan SDM yang kompeten dalam dakwah.

Hal ini juga disadari oleh PERSIS, sebagai usaha menjaga eksistensinya dalam memperjuangkan agama islam dengan jalan dakwah. Oleh sebab itu setelah berdirinya, mulai lah para founding father menyusun gagasan pendidikannya dan membangun lembaga pendidikan sebagai tempat untuk pengembangan para kader dakwahnya. Pada akhirnya Persatuan Islam berhasil mendirikan pesantren pertamanya, yaitu Pesantren Persatuan Islam yang berada di jalan Pajagalan, Bandung, sebagai lembaga pendidikan formal yang pertama di internal PERSIS.

Lembaga pendidkan tersebut diinisiasi oleh Tuan A. Hassan dan KHE. Abdurrahman, keduanya dan tokoh lainnya bahu-membahu mendidik para kader dakwah yang terdapat di pesantren besar (untuk santri senior) dan pesantren kecil (untuk santri junior). Selain itu, terdapat Lembaga Pendidikan lain yang dibentuk oleh Tuan M. Natisr yaitu Pendidikan Islam (Pendis).

Bahkan selain membangun Lembaga Pendidikan formal, PERSIS terus memberdayakan para kadernya dengan cara mengadakan kajian-kajian non formal. Format seperti ini bahkan menjadi cikal-bakal berdirinya PERSIS, sebagaimana PERSIS dimulai dengan kenduri yang di dalamnya membahas kajian keilmuan. Pada masa sekarang kajian non formal seperti ini senatiasa diadakan di masjid-masjid atau diadakan oleh Pimpinan Cabang dan Pimpinan Daerah organisasi, dengan bentuk tamhidul muballighin.

Adapun pada masa kini setelah PERSIS mencapai umur yang sudah tidak muda lagi dan hampir mencapai satu abad, PERSIS sudah berhasil mendirikan lembaga-lembaga pendidikan; meliputi lembaga formal, yang sekarang sudah berjumlah lebih dari 300 atau pun non formal, yang tersebar di setiap otonom-otonomnya.

Namun yang menjadi renungan bagi kita, apakah benar semua Lembaga Pendidikan yang didirikan oleh PERSIS di masa hari ini masih fokus pada pemberdayaan kadernya ke arah jalan dakwah? sebagaimana falsafah dan fitrahnya pada awal dibentuk, atau pendidikan untuk jalan dakwah sudah tidak relevan lagi bagi masa sekarang? Serta bagaimana strategi dan langkah yang harus ditempuh PERSIS untuk menciptakan pendidikan yang ideal?

Hal ini kiranya yang perlu terus diperjuangkan, sehingga PERSIS bisa menghadirkan Pendidikan yang ideal sesuai kebutuhan umat pada masanya, dirasakan manfaat dan hasil dari pendidikanya, yang mampu memberdayakan SDM menjadi kader dakwah yang kompeten. Maka penulis mencoba menjabarkan apa yang menjadi kegelisahan sebagai kader PERSIS melihat fenomena Pendidikan PERSIS pada dewasa ini, juga mencoba mencari solusi terbaik bagi permasalahan yang ada. Mudah-mudahan bisa menjadi saran provokatif dan solutif bagi kader lain, yang merasakan kegelisahan yang sama.

Mengevaluasi dan Menggali (lagi) Fitrah dan Falsafah Pendidikan PERSIS

Sangat penting Ketika membicarakan fitrah dan falsafah dalam esensi dari satu perwujudan atau entitas yang terdapat di dunia ini. Fitrah sendiri secara harfiyah memiliki arti yang suci, bersih, atau sesuatu yang menjadi awal bagi yang lain. Dari makna tersebut maka bisa dikatakan bahwa fitrah merupakan sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya dan bersifat universal, yang jika tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan kekacauan dalam tatanan kehidupan dan jika dilaksakan akan menimbulkan kebaikan. Seperti halnya kita sebagai manusia yang Allah swt. ciptakan dengan fitrahnya supaya beraktifitas di siang hari dan bersitrahat di malam hari. Maka jika manusia melakukan sebaliknya, hal tersebut menyebabkan keluar dari fitrahnya. Sudah pasti hal itu akan berdampak kepada kehidupannya, seperti mudah terserang penyakit.

Adapun falsafah yang merupakan serapan dari Yunani, merupakan suatu gagasan, anggapan dan sikap batin paling dasar yang dimiliki oleh manusia. Artinya Falsafah merupakan pandangan hidup yang mendasar bagi manusia dalam kehidupan. Contohnya ketika manusia dan hewan memiliki kesamaan seperti halnya sama-sama butuh kepada asupan makanan. Tentu dari kesamaan ini keduanya tidak bisa disamakan, karena makannya manusia secara falsafah (dorongan batin dan pandangan hidupnya) tidak sama dengan hewan. Sejatinya hewan makan karena disebabkan dia hidup, juga untuk menghilangkan rasa lapar. Namun, manusia makan bukan hanya disebabkan hidup dan menghilangkan lapar saja. Lebih dari itu, manusia makan karena untuk hidup, dan hidupnya manusia dipersembahan untuk menjadi hamba Allah swt. dan pengabdi setia-Nya (Red-ibadah).  

Dari pemaparan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa fitrah dan falsafah menjadikan kehidupan di dunia memiliki nilai. Jika hidup ini tidak memiliki falsafah, maka sulit untuk mencapai kepada fitrah. Bahkan bisa saja fitrah tersebut akan hilang jika falsafah sudah tidak terdapat dalam kehidupan manusia.

Begitu juga dalam dunia Pendidikan. Pendidikan tidak akan maju ketika tidak memiliki falsafah yang utuh dan paripurna. Bagaimana pun keadaan Lembaga Pendidikannya, semegah apapun bangunan dan fasilitasnya, tapi ketika falsafahnya luntur dan kering, maka kemunduran dan kehancurannya tinggal menunggu waktu saja.

Falsafah inilah yang menjadi pemandu bagi visi dan misi Pendidikan PERSIS untuk mencapai kepada fitrahnya. Jika melihat Qaidah Asasi dan Qaidah Dakhili PERSIS, secara umum bahwasannya PERSIS ingin menjadikan kader-kadernya menjadi trend setter dalam menghadirkan shuratun musagharatun ‘anil Islam atau menjadikan kadernya sebagai insan yang bersifat thaifah mansurah, karena PERSIS sendiri dibentuk bertujuan untuk mengamalkan Islam secara kaffah sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah pada setiap aspek kehidupan. Maka sejatinya tujuan pendidikannya harus sesuai dengan rumusan inti tersebut, yang menjadi falsafah utama bagi Pendidikan PERSIS.

Jika melihat pada masa awal pendirian Lembaga Pendidikan di PERSIS, paradigma pada konsep di atas adalah bagaimana Pendidikan PERSIS itu menjadi wadah bagi pengembagan kader yang disiapkan untuk menjadi mubaligh atau dai yang fokus mendalami agama (tafaqquh fiddin). Tentu paradigma ini bisa sangat tepat serta sesuai dengan kondisi zaman dan bisa menjadi solusi pada masanya, yaitu pra dan pasca kemerdekaan.

Namun setelah masa tersebut, khususnya setelah reformasi, mulai muncul miskonsepsi pada konsep pendidikan tafaqquh fiddin di internal PERSIS. Hal itu ditambah ketika PERSIS memutuskan untuk melakukan persamaan (mua’adalah)  terhadap sekolah-sekolah yang ada dalam naungan jamiyyah (Red-Pesantren PERSIS/PPI), supaya memiliki legalitas dari pemerintah. Sebenarnya hal ini suatu kebutuhan zaman dan seharusnya tidak ada masalah.

Akan tetapi,  sepertinya PERSIS dan para stakeholdernya gagal dalam menangani efek domino dari hal tersebut. Seperti terjadinya ketimpangan antara lembaga pendidikan yang ada dalam naungan PERSIS, tidak jelasnya standarisasi kurikulum dan bahan ajar, konflik nepotisme berkepanjangan dalam internal lembaga pendidikan dan otonom, gamang dalam memaknai pesantren dan madrasah, adanya degradasi makna tafaqquh, dan lain sebagainya.

Semua gonjang-ganjing tersebut adalah mulai lunturnya pemahaman PERSIS terhadap fitrah dan falsafahnya sendiri dalam konsep pendidikan. Seharusnya hal ini tidak terjadi, apalagi PERSIS memiliki falsafah “gerakan dakwah yang kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah”. Maka dari itu, penting bagi PERSIS untuk memahami fitrah dan falsafah Pendidikan dalam islam yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebagaimana disampakain para ulama dalam karya mereka.

Amirul mu’minin fil hadits, Muhammad bin ismail atau yang lebih masyhur dengan sebutan al-Bukhari (w. 870 m/256 h), beliau mengutip satu ayat dalam pembahasan, “kitab al-ilmi, babul Ilmu qablal qauli wal ‘amali”, (bab mengenai ilmu sebelum berucap dan beramal); Qs. Muhammad: 19, “fa’lam annahu laa Ilaaha ilLallah”, (maka ketahuilah olehmu (muhammad), bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Dalam ayat ini sangat jelas menggambarkan kepada kita bahwa Pendidikan islam adalah pendidikan sebagai metode menyampaikan ilmu yang berorientasi kepada iman, amal dan adab, serta ilmu itu harus diliputi dengan keimanan; sebagaimana lanjutan ayat di atas adalah perintah untuk beristighfar.

Bahkan dalam wahyu yang pertama kali turun kepada Rasulullah saw., dengan jelas Allah swt. mengawali firman-Nya tersebut dengan Iqra (bacalah). Hal ini menjadi bukti bahwa ilmu itu sangat penting, karena menjadi jalan untuk mencapai ma’rifatulLah. Sebagaimana Allah swt. sampaikan pada lanjutan ayat pada Qs. al-‘Alaq. Bukan itu saja, ayat ini turun tak ubahnya sebagai tazkirah, bahwsannya kita harus mempersiapkan konten dakwah yang didasari oleh Ilmu. Sebabnya tiada lain, karena dakwah menyeru kepada ajaran Agama Allah swt. hingga menjadi cahaya yang terang bagi manusia (Qs. al-Ahzab: 46). Namun, bagaimana dakwah bisa dikatakan sebagai cahaya, jika dakwah sendiri jauh dari pada ilmu.

Jika kita mengacu pada  falsafah Pendidikan Islam yang telah dipaparkan di atas, maka falsafah Pendidikan PERSIS harus lah yang berorientasi kepada pemupukan iman, amal dan adab sebagai hasil daripada ilmu yang telah dipelajari.  Jika falsafah tersebut telah dijaga oleh PERSIS, sehingga tidak luput ditelan zaman, seyogyanya pendidikan PERSIS sudah tepat pada fitrahyna; menciptakan dan mengahdirkan SDM atau kader dakwah yang paripurna dalam hal iman, amal, ihsan (adab) yang dihasilkan oleh ilmu yang telah dipelajari.

Pendidikan Ideal Persatuan Islam

Setelah mengetahui Fitrah dan Falsafah yang menjadi ruh dalam pendidikan PERSIS, maka penting bagi kitu untuk tahu bagaimana pendidikan ideal bagi PERSIS, yang merepresentasikan fitrah dan falsafahnya.

Tentu jika memikirkan sesuatu ideal maka yang terlintas dalam benak adalah metode ideal, yang mampu mengantarkan kita pada hasil yang ideal juga. Namun pada kesempatan ini al-faqir hanya akan meparkan metode inti, yang mana ini menjadi metode pendidikan yang harus dtempuh oleh semua muslim dalam hal pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam agam Islam.

Oleh karena itu perlu diketahui bahwa ada metode ideal dalam metode pendidikan islam, yaitu tadarruj (red-bertahap), dalam mempelajari satu ilmu. Dalam hal ini al-Zarnuji seorang ulama bermazhab hanafi menjelaskan dalam kitabnya, ta’limul muta’allim fi thariqut ta’allum, tahapan ilmu yang harus dipelajari bagi seorang muslim di antaranya:

Pertama: ilmu dasar atau pokok-pokok agama islam.

Berkaitan dengan ini, al-Zarnuji mengutip hadits yang masyhur; “menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim”; menurut beliau hadits ini menjelaskan bahwa ilmu yang wajib dipelajari bagi setiap muslim adalah ilmu dasar agama; berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dalam beragama, seperti ilmu yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan adab. Semuanya ini harus dimasukan ke dalam sistem Pendidikan, karena ilmu ini menjadi dasar bagi seorang muslim menjalankan agamanya. Selain itu ilmu ini mesti didahulukan dan diutamakan, serta statusnya menjadi fardlu ‘ain; tidak bisa diwakilkan dan tidak bisa gugur hanya dilakukan oleh individu yang lain.

Di antara contoh yang beliau jelaksan diantaranya; ketika seorang muslim diwajibkan salat maka sudah wajib menuntut ilmu yang berkaitan dengan tata cara dan kaifiyah salat yang benar, atau ketika seorang muslim wajib menjaga adab dan akhlaknya, maka wajib pula mempelajari akhlak-akhlak yang terpuji, supaya terhindar dari akhlak tercela. Semua ilmu ini wajib dipelajari oleh semua muslim, apapun latar belakangnya.

Kedua: ilmu yang berkaitan dengan pegembangan diri

Ilmu ini di antaranya berkaitan dengan pengembangan dan orientasi setiap individu (soft skills). Yang mana ilmu ini disesuaikan dengan kebutuhan individu, dan tidak bisa digeneralisasi kepada yang lainnya. Oleh karena itu ilmu atau pendidikan kepada hal ini bersifat fardlu kifayah, yang mana bisa gugur jika ditunaikan oleh beberapa individu atau sekelompok orang.

Dari konsep tadarruj pendidkan islam, sebagaimana dijelaskan al-Zarnuji  bisa diambil istifadah, bahwa pentingnya memahami konsep bertahap dalam mempelajari ilmu. Karena dengan konsep ini kita bisa faham mana ilmu yang wajib dipelajari oleh semua muslim, dan mana saja ilmu yang bisa dipelajari oleh beberapa individu saja; tidak harus semua muslim mempelajari dan bisa pada ilmu tersebut.

Penutup

Dari latar belakang ini, maka sangat tepat jika kita me-murajaah (mengevaluasi, mengkritisi dan memperbaiki) Fitrah dan Falsafah pendidikan PERSIS sebelum menentukan orientasi dan teknis sistem Pendidikannya itu sendiri di dalam ruang lingkup jamiyyah. Supaya tidak mudah terjebak dengan dinamika dan arus perubahan zaman dan tetap ada pada jalurnya yang sesuai dengan gagasan dasar Pendidikan Islam, yaitu dengan menjadikan setiap santri, murid, pelajar yang didik itu menjadi para dai dan hamba yang lebih dekat dengan tuhannya, kuat imannya, taat ibadahnya dan berbudi luhur akhlak dan adabnya.

Jika falsafah ini terus diterapkan di dalam jamiyyah, sejatinya PERSIS sudah sesuai dengan fitrahnya sebagai organisasi berbasis dakwah, karena sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa pendidikan menjadi ruh dan fondasi dakwah, juga sebagai pengembangan SDM dan Kader yang terjun di dunia dakwah.

Adapun metode pendidikan tadarruj tadi sudah harus dijadikan sebagai pijakan utama dalam konsep pendidikan PERSIS, sebelum menentukan orientasi lembaga pendidikan yang ada dalam naungan PERSIS. Karena konsep tersebut sudah sesuai dengan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah. 

Tentunya falsafah dan fitrah ini harus diusahakan dengan segenap tenaga dan doa. Usaha itu bisa terlihat ketika PERSIS mulai dari Pimpinan Pusat, Wilayah, Daerah, Cabang hingga Jama’ah mulai berikhtiar dengan menjadikan pendidikan sebagai fokus dalam program jihadnya. Sebaliknya, jika program jihad PERSIS hanya berfokus kepada pengembangan dan pembangunan yang bersifat material dan ceremonial saja, dan meninggalkan pendidikan sebagai ruh jamiiyyah yang berbasis dakwah, maka sudah harus bersiap PERSIS kehilangan simah dan tajinya.

Sama halnyan ketika konsep tadarruj ini sudah difahami oleh PERSIS, maka tidak akan ditemukan lagi bias dan gamang dalam menentukan standarisasi lembaga pendidikan PERSIS yang ideal. Sejatinya apaun bentuk lembaga pendidikan yang ada di dalam jamiyyah PERSIS, seperti Pesantren, Madrasah, atau pun Sekolah yang berbasis umum, jika sudah memahami konsep tadarruj dalam pendidikan islam maka setiap lembaga pendidikan PERSIS tidak akan melahirkan SDM dakwah yang gamang dan tidak jelas arah tujuannya. Karena konsep tadarruj merupakan kunci yang membuka kepada pintu hakikat dari pada ilmu, yaitu ketakwaan.

Selain itu konsep tadarruj bisa menjadi solusi dari fenomena yang sekarang masih menjamur di lembaga pendidikan internal jamiyyah, yaitu faham dikotomis dan disharmonis; antara ulum naqliyah (ilmu agama) dan ulum aqliyah (ilmu umum). Perkara ini terjadi dikarenakan adanya stigma, khususnya di kalangan grassroot, bahwa ilmu yang tidak berkaitan langsung dengan nash maka konsekuensinya akan dianggap ilmu yang berasal dari luar agama islam (red-barat), dan segala bentuk yang bersasal dari luar akan dinilai sebagai penghalang terhadap kemajuan ilmu agama,  akhirnya tidak terlalu serius ketika dikaji dan memunculkan sikap skeptis ketika dipelajari.

Padahal jika direnungkan lebih dalam, faham seperti ini hanya mengikis PERSIS dari identitasnya sebagai Organisasi Mujadid (pembaharu). Jika dilihat dari simah-nya, bahwa semangat tajdid adalah menjadi jembatan antara dua perkara yang terlihat saling bertentangan dan dicarikan solusi terbaik bagi keduanya. Hal ini sejatinya sudah dipartekan oleh salah satu founding father PERSIS; M. Natisr, yang mana beliau mengembangkan sekolah yang bernama Pendidikan Islam (Pendis), yang memadukan antara ulum naqli dan ulum aqli, serta memakai pendekatan kurikulum modern seperti halnya barat.

Sudah waktunya bagi PERSIS untuk membangun kembali ruh dakwahnya, yaitu pendidikan; dengan mengembalikan pendidikannya kepada fitrah dan falsafah asalnya, yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah. Karena dengan pendidikanlah yang menjadi modal PERSIS untuk mencetak generasi dan SDM yang siap terjun di medan dakwah, sebagai penebar risalah suci ajaran Ilahi. Wallahu a’lam bisshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *