Oleh: Muhammad Imam Asy-Syakir
Dosen Mahad Aly Al-Asma
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا. فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ. فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ:حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ.
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.”
(HR. Abu Daud dan Ahmad).
Wahn adalah sesuatu yang diwanti-wantikan kepada kita, karena ini adalah sumber persoalan yang akan menjadi bola salju yang menggelinding liar dan semakin membesar mendatangkan malapetaka serta menjadi lingakaran setan segala keburukan pada tubuh kaum muslimin, yang terus melemahkan kekuatan dan kemuliaan yang diperjuangkan para pendahulu dengan dengan keringat dan darah.
Tulisan ini bukan kampanye untuk membenci dunia atau ajakan meninggalkan atribut duniawi sehingga menjalani kehidupan dengan skeptis dan pesimis. Melainkan memberi sudut pandang lain di luar kotak yang menjadi pilihan lain untuk menjalani kehidupan di dunia ini secara optimis dan bertanggung jawab, sekaligus bentuk ikhtiar kita supaya bagaimana tidak sampai terjatuh ke dalam wahn yang disebutkan dalam hadits di atas.
Supaya lebih ringan dibaca dan mudah dicerna, kami sajikan dengan poin-poin penjelasan seringkas mungkin, sehingga inti dan maksud tulisan ini dapat tersampaikan.
Kehidupan duniawi ini tetap memiliki nilai dan arti jangan diinkari
Sekian banyak ayat dan hadits yang menjelaskan nilai kehidupan di alam dunia ini yang notabene terkesan negatif dan rendah, sebagaimana berikut:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ.
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid, ayat: 20)
…أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ.
…. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. (QS. At-Taubah, ayat: 38)
…قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا.
…Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (QS. An-Nisaa`, ayat: 77)
عن المُسْتَوْرِد بن شَدَّاد ضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟
“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR. Muslim).
Dari ayat dan hadits di atas jelas, bahwa kehidupan duniawi di banding akhirat tidak sepadan, tetapi yang jarang diangkat ke permukaan adalah sekalipun demikian, tetap saja ada nilainya, yaitu sedikit dan sebentar, hal ini jangan sampai dinafikan total sehingga memvonis dunia itu tak berguna, tak bernilai, dan tidak ada bagusnya. Sementara kenyataannya kita berada di sana. Adapun yang mesti ditekankan adalah bukan tidak berarti dan bernilainya dunia melainkan, jangan sampai arti dan nilai yang kecil ini menjadi penggelap mata dan pikiran kita terhadap kehidupan akhirat. Dengan logika ini, maka semestinya manfaat waktu dan kesempatan hidup di dunia untuk memperoleh akhirat, dan tidak terhalang serta terlarang bagi kita untuk menggunakan segala atribut duniawi salam batasan yang tetah ditetapkan. Tidak serta merta meninggalkannya karena sudah memandang buruk dunia secara total karena itu akan menyulitkan tentunya dalam beramal, karena begitu banyak amal yang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan atribut duniawi, seperti infaq, haji, membantu dan berbagi kepada mereka yang kekurangan, dan lain sebagainya. Terlebih Al-Qur`an sendiri dengan menyebutkan segala macam perumpamaan dan perbandingan antara dunia dan akhirat, juga menyampaikan untuk tetap berusaha dan tidak melupakan bagian kita di dunia, sebagaimana tercantum dalam ayat:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi… (QS. Al-Qashash, ayat: 77)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah, ayat: 10)
Jebakan-Jebakan Dunia Yang Harus Dihindari
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Al-Jawabul Kafiy liman sa`ala ‘anid-dawaa` was-syafiy, menulis sebuah fasal: al-ightirar bid-dunya (terperdaya oleh dunia). Di dalamnya beliau menyoal tentang mereka yang telah terperdaya oleh dunia, sehingga penglihatan mereka tertutup, pikiran mereka menyempit. Lantas terbersitlah dalam benak mereka bahwa dunia lebih utama dari akhirat. Adapun alasan yang dibuat oleh pikiran dan penglihatan yang telah terperdaya itu antara lain:
الدُّنْيَا نَقْدٌ، وَالْآخِرَةُ نَسِيئَةٌ، وَالنَّقْدُ أَحْسَنُ مِنَ النَّسِيئَةِ. وَيَقُولُ بَعْضُهُمْ: ذَرَّةٌ مَنْقُودَةٌ، وَلَا دُرَّةٌ مَوْعُودَةٌ. وَيَقُولُ آخَرُ مِنْهُمْ: لَذَّاتُ الدُّنْيَا مُتَيَقَّنَةٌ، وَلَذَّاتُ الْآخِرَةِ مَشْكُوكٌ فِيهَا، وَلَا أَدَعُ الْيَقِينَ بِالشَّكِّ.
Dunia itu bersifat kontan, sedangkan akhirat bersifat penangguhan, maka yang kontan lebih baik dari yang ditangguhkan (contohnya, menilai Lebih baik sekeping koin perak yang didapat seketika itu juga, dari pada untaian kalung mutiara yang sebatas janji). Kenikmatan dunia dapat dirasakan secara nyata, sedangkan akhirat masih diraba-raba belum jelas terasa, sementara suatu yang yakin tidak bisa ditolak dengan suatu yang meragukan (contohnya, makanan dan kenikmatan yang sudah pernah kita cicipi dan nikmati tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu yang belum pernah kita coba).
Jujur mesti kita akui, demikianlah yang ada di pikiran kita, meski mulut tak berani mengucapkan secara terang-terangan. Maka sungguh kita telah terperdaya oleh dunia. Berhati-hatilah saudaraku sekalian terhadap jebakan ini!
Kehidupan Duniawi adalah modal dan peluang untuk Kehidupan Akhirat, Do the best for the real succes!
Bila kita mencoba menghitung secara matematis modal dan peluang kita hidup di dunia dengan apa yang akan kita peroleh, maka mari kita perhatikan dan renungi ayat berikut:
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganm. (QS. As-Sajdah, ayat: 5)
Dalam surah as-Sajdah yang disebutkan di atas, dijelaskan bahwa satu hari di sisi-Nya (akhirat), setara dengan 1000 tahun di dunia. Sebagaimana ditegaskan oleh Isma’il Haqqiy al-Burussiy dalam Tafsir Ruhul-Bayan: “sehari dari hari-hari akhirat seperti seribu tahun dari hari-hari dunia.”
Maka jika, kita coba untuk renungi perhitungan umur kita dan bandingkan dengan akhirat, maka taruhlah, jika umur kita di dunia 60 atau 70 tahun maka itu hanya sekitar 1 jam setengah di banding waktu akhirat. Maka jadikanlah waktu yang diberikan kepada kita di dunia yang hanya sekitar 1 jam setengah atau kurang atau lebih ini untuk menjadi modal dan peluang dengan target keuntungan sebesar-besarnya bahkan tidak terbatas di akhirat kelak.
Alangkah untungnya kita jika waktu ini kita tukar dengan kebahagiaan dan nikmat yang abadi di surga. Sebaliknya, alangkah meruginya waktu di dunia yang sebentar ini jika di akhirat kita tukar dengan kepedihan dan siksa yang abadi di neraka. Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat berikut:
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr (59), ayat: 20)
لِيَمِيزَ اللَّهُ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَيَجْعَلَ الْخَبِيثَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَيَرْكُمَهُ جَمِيعًا فَيَجْعَلَهُ فِي جَهَنَّمَ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. Al-Anfaal, ayat: 37)
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (107) أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (108) لَا جَرَمَ أَنَّهُمْ فِي الْآخِرَةِ هُمُ الْخَاسِرُونَ (109)
Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.
Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.
Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi. (QS. An-Nahl, ayat: 107-109)
Simpan Segala Atribut Duniawi Di Tangan Jangan Di Hati
Bagaimana sikap dan amal yang harus dilakukan seorang muslim terhadap dunia, terejawantahkan dalam sebuah istilah, yaitu: zuhud. Banyak pengertian dan penjelasan tentang zuhud, dan di antaranya adalah Simpan dunia di tangan, dan jangan simpan di hati. Ada banyak ungkapan dan nasihat tentang ini.
Ibrahim bin Adham mengatakan: Zuhud ialah kosongnya hati dari urusan duniawi, bukannya mengosongkannya di tangan.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailaniy berkata: Keluarkan dunia dari hatimu, simpanlah ia di tangan atau sakumu, maka itu tidak akan membahayakanmu.
Asy-Syafi’iy berkata: Jadikan akherat selalu di hatimu, genggamlah dunia di tanganmu, dan ingatlah kematian di pelupuk matamu
Genggamlah dunia sekedar di tangan, tapi jangan simpan di hati, cukuplah hati untuk akhirat. Taklukkan dunia, tapi jangan jatuh cinta padanya. Dengan demikian, kita tidak akan berat beramal dengan harta dan jiwa kita, manakala menyadari bahwa semua itu hanya sebagai wasilah atau sarana dan bukan tujuan karena tujuan sebenarnya adalah kehidupan terbaik di akhirat, yaitu surga.
Para Penakluk Dunia: Mereka Yang Tidak Terbuai dan Ditundukan Oleh Kehidupan Duniawi
Untuk langkah kongkret bagaimana kita supaya selamat dunia dan akhirat, mari kita simak contoh nyata yang telah disediakan oleh sejarah, untuk kita renungi dan teladani.
Pertama, tentu saja para Nabi. Banyak sekali keteladanan yang telah mereka berikan, di antaranya: Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ketika diantarkan hadiah yang berlimpah dari kerajaan Saba’, berupa harta yang sangat banyak, beliau bersikap biasa saja dan tidak terpengaruh, bahkan beliau mengatakan,
قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آَتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آَتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ
‘Apakah kalian akan menyogokku dengan harta, padahal apa yang diberikan Allah kepadaku, lebih baik dibandingkan apa yang kalian berikan. Namun kalian merasa bangga dengan hadiah kalian.’ (QS. an-Naml: 36).
Kemudian, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam, beliau adalah figur yang begitu mulia yang mengajarkan kepada kita semua bagaimana menyikapi kehidupan dunia ini, beliau bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.(HR. Bukhariy)
Sabda beliau ini adalah bagaimana kita harus menjadi pribadi yang menyadari bahwa kehidupan di dunia adalah sementara, sama halnya seperti kita sedang berada di perjalanan menuju sebuah tujuan, dan tujuan itu adalah akhirat. Jangan terpana dan terbuai keelokan pemandangannya, jangan berbetah-betah diri ketika beristirahat, jangan lupakan arah dan tempat yang dituju. Maka, tak heran beliau shallallahu ‘alaihi was sallam menjalani hidup sederhana, tidak hidup bermewah-mewah, bermegah-megah, menahan pemberian dari harta yang dimilikinya, sampai-sampai dikenal bahwa tidak ada permintaan kepada beliau yang tidak beliau berikan. Alangkah, menakjubkannya beliau dengan kehidupan yang dijalaninya, padahal jika mau beliau adalah yang paling mungkin untuk menjadi yang terkaya dan mengakses segala atribut kehidupan sebagai sosok pemimpin yang diikuti dan disegani banyak orang, demikian beliau menjadi penakluk sejati kehidupan duniawi dengan tidak menuruti kesenangan dan tunduk kepadanya.
Kedua, para sahabat. Jumlah sahabat Nabi terbilang sangat banyak lebih dari 100.000 orang, Abu Zur’ah Ar-Razi menyebutkan bahwa jumlah sahabat, sekitar 114.000 orang. Sedangkan menurut Jalaluddin As-Suyuthiy jumlahnya adalah 124.000 orang. Sekalipun data jumlah sahabat ini ada perbedaan, tetapi poinnya di sini adalah mereka sangat banyak. Dan Dari sekian banyaknya sahabat itu begitu banyak kisah dan peristiwa yang menjadi pelajaran bagi kita, termasuk bagaimana sikap mereka terhadap atribut kehidupan duniawi. Di antara mereka terdapat sosok Abu Bakar Ash-Shidiq ra. Yang tidak ragu menginfaqkan seluruh hartanya untuk keperluan jihad, kemudian Umar bin Khathab yang memilih mengenakan pakaian dan memakan makanan yang sama dengan rakyatnya, ketika beliau menjadi khalifah. Ada juga sahabat Hanzhalah yang meninggalkan istrinya di malam pertamanya demi menjawab seruan berjihad dan tidak ketinggalan Abdurrahman bin ‘Auf yang dengan harta yang berjubel begitu banyak selalu terdepan dalam berinfaq dan membantu kaum muslimin dengan hartanya. Lalu Abu Darda` sahabat dari kaum Anshar yang memutuskan berfokus untuk ibadah dan meninggalkan aktivitasnya sebagai pengusaha, karena merasa tertinggal jauh dari sahabat lain dalam beramal, karena ia masuk Islam terkemudian. Demikianlah di antara sahabat yang hatinya tidak dapat ditaklukkan oleh dunia, padahal dunia di genggamannya. Tentunya, Masih banyak kisah para sahabat lain yang belum kami sebutkan disini. Beberapa yang disebutkan secara ringkas ini, hanya sebagai penegas, bagaimana kita harus bersikap terhadap atribut kehidupan dunia, entah itu harta, keluarga, jabatan, dan lainnya. Dan ini hanya sekedar pembuka jalan untuk para pembaca yang budiman untuk mencari dan membaca kisah-kisah lengkapnya, supaya mendapat hikmah yang begitu luar biasa untuk diteladani.
Ketiga, Orang-orang shaleh terdahulu. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah kisah menarik:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ، فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى العَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ، فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى العَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي، إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الأَرْضَ، وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ، وَقَالَ الَّذِي لَهُ الأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ الأَرْضَ وَمَا فِيهَا، فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ، فَقَالَ: الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ أَحَدُهُمَا: لِي غُلاَمٌ، وَقَالَ الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ، قَالَ: أَنْكِحُوا الغُلاَمَ الجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا “
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda: Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata, di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu, berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya, “Ambillah emasmu! Sebetulnya, aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.” Si pemilik tanah berkata kepadanya, “Sungguh, saya menjual tanah ini kepadamu berikut isinya.” Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu, “Apakah kamu berdua mempunyai anak?” Salah satu dari mereka menjawab, “Saya punya seorang anak laki-laki.” Yang lain menimpali, “Saya punya seorang anak perempuan.” Kata sang hakim, “Nikahkanlah mereka berdua. Berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.