Hujjatussunnah Itu Kini Telah Tiada

Oleh: Dudi Safari
Pemuda Persis paseh

Siang itu Senin sekira pukul 11.00 (21 November 2022) kami mendengar berita tentang Ustadz Aceng (panggilan akrab dari K.H Aceng Zakaria), dilarikan ke rumah sakit.

Berita itu sungguh sangat menghentakkan kami semua, bagaimana tidak sebab sebelumnya Ustadz Aceng tidak pernah dikabarkan menderita sakit.

Selang berapa jam kemudian dikabarkan Ustadz Aceng telah wafat.

Memang usia beliau sudah termasuk usia lanjut. Usia Beliau saat wafat adalah 74 tahun, beliau dilahirkan pada 11 Oktober 1948 .

Beliau merupakan salah seorang di antara keturunan ulam terkenal di Garut yakni K.H Shidiq atau lebih populer dengan sebutan Mama Sukarasa.

Dibesarkan di lingkungan pesantren yang berkutat dengan ilmu-ilmu agama, tentu membentuk pribadi Kyai Aceng muda menjadi seorang yang religius, bahkan minat terhadap keilmuan beliau sudah tampak dari kecil dengan sering mengajar anak-anak sebaya atau anak-anak yang lebih Junior dari dia.

Maka dengan kapasitas kemampuan mengajar itulah keilmuannya semakin terasah, walaupun masih dalam level dasar saat itu.

Kemudian beliau meningkatkan pendidikan keagamaan di pesantren Persis Pajagalan Bandung dan menjadi murid adalah salah satu tokoh persis terkemuka pada waktu itu yakni K.H.E. Abdurrahman.

Sang guru inilah yang membimbing beliau untuk tetap konsisten dalam menggeluti keilmuan-keilmuan agama.

Pendidikan formal beliau hanya sampai tingkat mu’allimin saja tidak ada niat untuk melanjutkan lagi ke jenjang yang selanjutnya karena salah satu doktrin sang guru adalah agar para murid tidak usah berijazah negeri, karena sang guru khawatir murid-muridnya akan meninggalkan dakwah yang sangat membutuhkan para mubaligh dan para Dai pada waktu itu untuk berdakwah ke berbagai pelosok, kampung-kampung dan pedalaman.

Bagaimana jadinya jika para murid ini memilih untuk bekerja di instansi pemerintah dengan bayaran yang cukup kemudian mereka merasa nyaman di situ dan mereka meninggalkan dakwah. Inilah yang dikhawatirkan oleh sang guru.

Seusai lulus dari mu’allimin Kyai Aceng pun pulang kembali ke kampung halaman membina masyarakat sekitar kampungnya kemudian mendirikan Pesantren sebagai basis daripada pemberdayaan atau sebagai basis regenerasi dakwah di pesantren Persis Rancabango 99.

Kini ribuan kader beliau telah menyebar ke seluruh Pelosok Nusantara yang siap menggantikan dan menapaki jejak dakwah beliau.

Cinta ilmu

Kecintaan Ustadz Aceng terhadap ilmu tidak hanya sebagai objek pembaca atau pengkaji dari karya-karya orang lain saja namun beliau juga sangat aktif dalam menulis, menyusun buku-buku keagamaan yang sampai hari ini karya-karyanya menjadi salah satu pedoman bagi jamaah Persatuan Islam yang di mana beliau aktif.

Ada sekitar 103 buah karya beliau yang sudah rampung dan disebarluaskan.

Diantara 103 itu ada sekitar 33 yang berbahasa Arab. Skill akademik Ustadz Aceng benar-benar terlihat, saat orang lain mempunyai kemampuan bertaraf internasional karena bersekolah ke luar negeri namun beliau tetap mengkaji di dalam negeri akan tetapi kemampuannya sebanding dengan ulama-ulama internasional, terbukti dari berbagai buah karyanya.

Berikut adalah sebagian karya beliau:

  1. Al-Fatawa 1
  2.  Al-Fatawa 2
  3. Al-Fatawa 3
  4. Al-Fatawa 4
  5. Al-Fatawa 5
  6. Al-Fatawa 6
  7. Al-Hidayah 1
  8. Al-Hidayah 2
  9. Al-Hidayah 3
  10. Al-Hidayah 4
  11. Al-Hidayah Arab
  12. Al-Hidayah Kompilasi
  13. Al-Ishlah 
  14. Al-Kaafiy 1
  15. Al-Kaafiy 2
  16. Al-Kaafiy 3
  17. Al-Kaafiy Kompilasi
  18. Al-Muyassar 1 
  19. Al-Muyassar 2  
  20. Al-Muyassar 3 
  21. Al-Muyassar Kompilasi

Studi Pemikiran aliran-aliran Sesat

  • Belajar Nahwu 40 jam
  • Belajar Tashrif 20 jam
  • Belajar Tashrif 40 jam
  •  Doa-Doa Shalat Indonesia
  • Doa-Doa Shalat Sunda
  • Doa Haji & Umrah
  • Doa sehari2
  • 29 Etika Bisnis dalam Islam.
  • Etika Bisnis dalam Islam.

Dan masih banyak karya lainnya.

Keorganisasian

Di bidang organisasi beliau pernah aktif di beberapa bidang garapan, berapa tahun kemudian beliau dipercaya memegang amanah untuk menjadi ketua umum persis.

Beberapa jabatan yang pernah dipegang oleh K.H. Aceng Zakaria:

  1. Pimpinan Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango
  2. Ketua Bidang Garapan Pendidikan Pimpinan Pusat Persatuan Islam
  3. Anggota Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam
  4. Ketua BKSPPI Kabupaten Garut
  5. Penasihat ICMI Kabupaten Garut
  6. Ketua STAI PERSIS GARUT.
  7. Ketua Umum Pengurus Pusat Persis 2015-2020.

Di usia senjanya beliau tidak pernah merasa lemah atau lelah dalam berdakwah, hal tersebut terlihat dari aktivitas beliau yang padat ke berbagai wilayah dan berbagai kota bahkan keluar Jawa sebagai ketua umum.

Dalam menjalankan aktivitasnya ia pun tidak pernah mengeluh bahkan terlihat semangat ketika meresmikan berbagai macam lembaga pendidikan di bawah naungan PP persis.

Salah satunya saat beliau hadir di peletakan batu pertama pendirian pesantren persatuan Islam no. 25 Paseh, Sumedang tahun 2019.

Dua tahun kemudian 19 Juni 2022, beliau pun berkenan hadir untuk meresmikan PPI 25 Paseh, Sumedang.

Nasihatnya

“Kun kalyadain wa laa takun kal udzunain” (Jadilah seperti dua tangan jangan seperti dua telinga). Ada yang mengatakan bahwa ini adalah maqalah Imam Algazali

Kalimat kutipan ini selalu diucapkan berulang-ulang oleh Ustad Aceng dalam setiap pertemuan, kajian bahkan dalam ceramah umumnya.

Beliau selalu mengutip perkataan ini bahwa kita harus jadi seperti dua tangan yang saling tolong-menolong, yang saling membantu tanpa saling mencaci atau iri hati, tangan kanan tidak pernah merasa iri hati terhadap tangan kiri tangan kiri pun demikian.

Beliau mengumpamakan bahwa tangan kiri yang pekerjaannya selalu mengurusi hal-hal yang kotor, tetapi dia mendapatkan penghormatan dengan memakai arloji atau jam tangan di tangan kirinya, sementara tangan kanannya selalu dipakai untuk hal-hal yang baik nyaris tanpa aksesoris apa pun, itu kebiasaan yang sering terlihat di masyarakat kita.

Perumpamaan kedua, janganlah kita menjadi seperti dua telinga yang walaupun berdekatan tapi tak pernah saling membantu, tak pernah saling menolong, tak pernah saling bersilaturahmi atau saling mengunjungi.

Saat telinga kanan mau mengunjungi telinga kiri, telinga kiri malah pergi menjauh demikian pun sebaliknya ketika telinga kiri mau mengunjungi bersilaturahmi ke telinga kanan, telinga kanan malah pergi menjauh.

Akhirnya walaupun berdekatan tidak pernah berkomunikasi, tidak pernah bersilaturahmi, tidak pernah bertemu. Berdekatan tapi tidak ada kebaikan. Itulah perumpamaan dari sepasang telinga.

Kini sang Mentari itu telah tiada, hilang sinarnya ditelan kegelapan malam dunia yang siap menyelimuti para penghuninya dan meninabobokan insan dalam aktivitas-aktivitas keduniaan yang notabene selalu mengajak manusia ke arah pembangkangan terhadap Tuhan.

Karena kesehariannya istiqamah dalam menjaga Sunnah dan menjalankan aturan agama selalu berpedoman kepada Sunnah nabi Saw. menjaga agama baik dengan lisan maupun tulisan.

Maka selayaknya beliau mendapat gelar kehormatan sebagai hujjatussunnah (sang penjaga sunnah).

Rahimahullah Ustadz Aceng Zakaria.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *