Oleh: Teten Rosyadi, M.Pd.
Bidgar Pendidikan PD. Persis Kab. Sumedang
Hidup adalah anugrah (fadhilah). Kita dijadikan manusia bukan imbalan atas sebuah prestasi (honor), bukan pula upah hasil dari kerja keras, kita menjadi manusia, bukan kera, bukan kerbau, bukan pohon mangga, bukan rumput ilalang, bukan kecoa, bukan cacing parasit, bukan belatung dan lain sebagainya, semua itu hanya atas ‘Kepercayaan’ Allah Subhanah wa Ta’ala bahwa kita mampu memikul Amanah.
Allah Subhanah wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir (akan mengkhianatinya), dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (al-Ahzab:72).
Ucok lahir di Medan, putra Simanjuntak dan Neng Nia lahir di Cibugel putri Bah Karta, keduanya lahir bukan berdasar proposal kelahiran yang lolos tiga tahap screening administrasi dan fit and proper test. Kamu lahir dengan rambut lurus ataupun keriting tak bisa kau proses-ajukan di pengadilan manapun.
Bila kamu hasad pada Nabi Allah Sulaiman alaihi al-salam, yang terlahir dari seorang Nabi, tampan, penguasa negeri, kaya raya, dan kamu merasa tak adil karena terlahir dari ayah miskin di dusun kecil terpencil, buanglah jauh khayalan sesat itu! Bersyukurlah kamu masih terlahir manusia bukan virus renik DBD yang dikandung nyamuk Aedes Aegifty. Walau wajahmu tak tampan tampan amat, bersyukurlah dengan sepuluh jari di tanganmu sehingga kamu bisa menyuap nasi tanpa sendok. Kalaupun jarimu terlahir cacat tak sempurna, syukurilah kamu bisa berjalan dengan punggung tegak. Bahkan seandainya seluruh kekurangan manusia ada pada dirimu, bersyukurlah kamu tidak terlahir sebagai jentik nyamuk kecomberan.
Bersyukur telah dijadikan makhluk sempurna bukan cuma dengan ridha atas apa yang jadi taqdir kita, mensyukurinya juga menuntut pelaksanaan tugas dengan sekuat tenaga.
Allah Suhanah wa Ta’ala memilih kita menjadi makhluk spesial, karena kita dibekali, diberi modal, yang seukuran mampu melaksanakan tugas. Modal tersebut adalah fitrah; sifat-sifat baik yang Allah ciptakan beserta raga (khalq/taqwim).
Allah Subhanah wa Ta’ala berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (itulah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (al-Rum:30)
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam struktur (jasad lahir dan fitrah bathin) yang sebaik-baiknya”. (al-Tin: 5)
Kata f-th-r bermakna penciptaan awal, kata fitrah ini merupakan turunannya (derivasi) yang berarti sifat awal atau sifat bawaan lahir. Kata taqwim suka diartikan jasad, tubuh, badan, padahal raga kasar lebih tepat sebagai makna dari kata khalq, sebagaimana tertera dalam Qur`an surah al-Mu’minun ayat 12. Kata taqwim sendiri berasal dari kata q-w-m yang juga merupakan sumber yang yang sama dari kata qayyim yang dalam surah al-Rum di atas digandengkan dengan kata din (Islam) yang bersifat tegak, teguh, masagi, cocok dan berfungsi untuk semua tantangan, maka saya cenderung menafsirkannya sebagai struktur dalam arti susunan organ lahir-bathin yang harmoni dan sinergi.
Amanah yang menjadi tugas kita adalah untuk selalu hidup di atas fitrah. Fitrah yang menjadi khuluq (kebiasaan), fitrah yang asli (original), fitrah qayyim yang murni (authentic) seperti fitrah orang yang jujur dengan diri sendiri. Bila ada kamu bertanya, “kok amanah diartikan fitrah?” Dalam beberapa Tafsir, kata amanah ini diartikan dengan din al-Islam, nah! dalam surah al-Rum di atas dilabeli sebagai fitrah! Jadi, tanpa maksud ‘menyesatkan’, saya sengaja loncat, biar bahasan lebih nyambung. Menarik diksi do’a bercermin yang dibuat Rasulullah saw:
اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِى فَأَحْسِنْ خُلُقِى (أحمد عن عائشة)
“Ya Allah! (Sebagaimana) Engkau telah baguskan ragaku, maka baguskanlah akhlaqku” (HR. Ahmad dari ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud radhillah anhhuma).
Beliau membandingkan dua diksi yang berasal dari satu kata yang sama, berdekatan dalam lafal serta berbandingan dalam makna, yaitu kata khalq (raga) dan kata khuluq (sifat yang terpateri menjadi kebiasaan) untuk satu harapan yang sama sebagai sebuah kebaikan (hasan).
Gambaran keaslian (original) fitrah bisa diibaratkan dengan respon anak balita pada sesamanya. Ketika anak umur dua tahunan bermain dengan sebayanya, takan ada sifat-sifat jelek yang mengganggu persahabatan mereka, bila salah seorang menangis, yang lain ikut menangis atau terbit iba dalam raut wajahnya. Kamu takan mungkin menemukan mereka bersenang-senang di atas kesedihan temannya!
Bandingkan dengan sifat jelek orang yang lebih berumur. Anak kecil pasti senang berbagi. Sejak kapan kita tahu bahwa pelit itu bisa membuat kita cepat kaya? Bila ada anak usia SD terbiasa menyembunyikan makanan miliknya, itu akibat didikan yang salah dari orang dewasa yang merasa rugi bila melihat makanan anaknya cepat habis dan cepat minta lagi, sehingga dengan spontan bilang “nanti makanannya diawet-awet ya! Biar gak cepat habis!”
Contoh lain fitrah ashly, kita, sengaja atau tidak, sering menyaksikan mereka bertengkar karena suatu masalah, namun itu terjadi hanya sesaat, selang berapa waktu mereka Kembali bermain penuh keakraban. Anak kecil dipenuhi fitrah pemaaf, sifat kasih-sayangnya mendominasi jiwa, sehingga berapa pahitnya sakit hati itu, dengan cepat, tenggelam dalam nafas persaudaraan. Kita, orang dewasa, alih-alih i’tiraf, kembali pada fitrah sama yang dahulu pernah kita miliki, malah menanamkan benih dendam dengan nasihat palsu, “anak nakal seperti dia tinggalin aja, jangan ditemani?”. Mari kita renungkan sabda Rasulullah shalla Allah alaih wa sallam, berikut ini:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِدَانِهِ أَوْ يُنَصِرَانِهِ أَوْ يُمَجِسَانِهِ …
(البخارى ، ومسلم ، وأبو داود عن أبى هريرة)
“Tidaklah terlahir seorang bayi pun kecuali ia lahir di atas fitrah, maka orangtuanyalah yang me-Yahudi-kannya atau me-Kristen-kannya atau me-Majusi-kannya, …” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud dari Abu Hurairah radhiyallah anh). Wa Allah a’lam bi al-shawwab.
Adapun fitrah qayyim yang murni (authentic) tergambar dalam `ibarah peristiwa terdesak yang pernah dialami setiap manusia dewasa di masa hidupnya. Penjelasan yang terakhir ini, in sya`a Allah, akan dibahas diedisi berikutnya.