Catatan Diaspora Persis dari Muktamar XVI: Menjaga Jamiyyah dengan Menata Fitrah

Oleh: Naufal Syauqi Fauzani (Ketua PCI PERSIS Mesir 2019-2020)


Muktamar yang merupakan salah satu hajat besar Persatuan Islam telah sukses dilaksanakan. Sudah sepatutnya reaksi pertama bagi seorang muslim ketika hajatnya terlaksana adalah memunculkan rasa syukur kepada Allah Swt. karena sejatinya apa-apa yang telah terjadi pada kita merupakan karunia-Nya yang terbaik bagi kita.

Begitu banyak pengorbanan tercurah dalam muktamar kali ini, baik dari segi materi dan non materi. Mudah-mudahan dari pengorbanan tersebut bisa menghasilkan gagasan dan rencana jamiyyah khususnya untuk lima tahun kedepan.

Tentu gagasan dan rencana hasil muktamar tersebut harus melahirkan kemaslahatan bagi umat, dan sesuai dengan kebutuhan masa kini yang tentu berbeda dengan masa sebelumnya. Maka jika kita sedikit menelaah kepada tema Muktamar Persis XVI; Transformasi Gerakan Dakwah Persis untuk Mewujudkan Islam Rahmatan Lil’Alamin dalam Bingkai NKRI.” Setidaknya dari tema diatas bisa dimaknai bahwa sejatinya Persis yang notabene organisasi yang berorientasi pada dunia dakwah, dituntut harus senantiasa melakukan transformasi (dibaca: perubahan) dalam menerapkan strategi dakwahnya.

Mengacu pada gagasan di atas, sejatinya jamiyyah Persis sudah tidak aneh lagi untuk senantiasa melakukan transformasi dalam setiap masanya. Hal itu senada dengan ruh jamiyyah yang merupakan harakatut-tajdid (gerakan pembaharu).

Sebagai kader jamiyyah tentu memaknai pembaharu tidak memahaminya sebagaimana framing liberal atau sekuler yang memaknainya dengan cara meruntuhkan gagasan dasar dalam agama Islam hingga melepaskan nilai keislaman dan maqasid-nya (fundamentalis). Namun, bagi kita kader persis memaknai pembaharu adalah satu usaha untuk menghadirkan islam beserta nilai dan maqasidnya  yang sudah turun sejak seribu tahun yang laku dengan cara yang sesuai tuntutan zaman dan keadaan (kebutuhan umat).

Jika dilihat dari makna di atas maka simah atau ciri utama dari gerakan tajdid, khususnya di jamiyyah Persis adalah menghadirkan Islam dengan cara reaktif dan adaptif kepada masyarakat.

Sebagaimana contohnya dalam dunia dakwah dan khazanah keilmuan islam; pada zaman pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan para founding fathers jamiyyah melakukan gebrakan yang luar biasa pada saat itu, yaitu menghadirkan kajian-kajian keislaman seperti tafsir, fikih, alat, sirah, dan sejenisnya engan menuangkannya dalam bentuk tulisan seperti buku, majalah, buletin, terjemahan dan media lainnya.

Semua kajian-kajian tersebut bisa menjadi obat mujarab bagi umat pada masa itu, karena founding fathers Persis menuangkan semua kajiannya dalam bentuk tulisan. Maka tidak heran begitu masyhurnya karya literasi para orang tua kita seperti Panji Masyarakat, Al-Muslimun, Tafsir Al-Furqan, Terjemah Buluhul Maram, Soal Jawab, dan masih banyak yang lainnya.

Maka formula inilah yang menjadi kebutuhan masyarakat pada saat itu, yaitu masyarakat sangat butuh akses yang lebih mudah untuk lebih mengenal agama Islam, yang mana pada saat itu pengkaji keilmuan Islam terbatas dan hanya bisa dicapai dengan nyorog atau menjadi santri di pesantren-pesantren salaf (tradisional). Padahal masyarakat pada zaman tersebut tidak semua bisa mengenyam pendidikan pesantren

Pembukaan secara simbolis Muktamar Persis dan Persistri 2022, selain dibuka oleh tokoh Persis dan Persistri, dibuka juga oleh Gubernur Jawa Barat, Menteri Pertahanan, dan Kapolri, (Sumber gambar: Bale Bandung).

Di antara contoh reaktif dan adaptifnya jamiyyah Persis sebagai pembaharu adalah apa yang dilakukan oleh para founding fathers di dunia pendidikan. Yaitu untuk mempersiapkan kader pelanjut dakwah para tokoh Persis mendirikan lembaga seperti pesantren di Pajagalan, Bandung, yang didirikan oleh Tuan A. Hassan dan dibantu oleh murid kesayangan KH. E. Abdurahman. Selain kedua tokoh tersebut, Tuan M. Natsir mendirikan pendidikan yang bersifat baru pada masanya, yaitu Pendis (Pendidikan Islam).

Dalam menjalankan lembaga pendidikan tersebut Tuan Natsir membuat satu sistem pendidikan yang memadukan kurikulum Barat dengan kurikulum Islam. Hal tersebut merupakan hasil dari ijtihad beliau sebagai langkah memberdayakan umat dan menjawab tantangan pendidikan saat itu. Di mana banyak lembaga pendidikan Belanda yang tidak menyertakan muatan atau kurikulum agama Islam di dalamnya.

Melihat fakta sejarah di atas maka Persis sebagai organisasi tajdid menghadirkan sesuatu yang baru sebagai solusi kepada umat atau masyarakat merupakan identitasnya. Oleh karena itu transformasi merupakan sunnatullah bagi Persis sebagai langkah untuk menghadirkan solusi yang paling tepat dan mujarab bagi zamannya karena sejatinya kebutuhan setiap masa itu berbeda, dan pasti setiap masa yang baru menuntut akan adanya perubahan.

Adapun yang perlu dicermati bagi kita sebagai kader yang senantiasa menjaga eksistensi jamiyyah adalah akan dibawa kemana arah transformasi dan pembaharuan tersebut? Jika perubahan itu sesuai khittahnya yaitu kepada dakwah sebagai orientasi jamiyyah, dan pendidikan sebagai pondasi dari pada dakwah, sejatinya ini adalah ruh dan fitrah dari jamiyyah Persis sendiri yang harus senantiasa diperjuangkan, dijaga dan ditata oleh para kader dan stake holder yang ada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *