Islam tidak hanya mengatur hubungan individu atara dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia maupun diri sendiri. Oleh karena itu, umat Muslim tidak boleh bersikap seenaknya, karena ada adab yang harus diperhatikan agar dunia dan akhirat berjalan seimbang.
Mengutip buku Berguru Adab kepada Imam Malik karya Masykur, adab adalah kepandaian dan ketepatan dalam mengurus segala sesuatu. Dalam Islam, adab merupakan perbuatan yang tidak terlepas dari akhlak karimah (perbuatan mulia).
Adab berasal dari dua sumber utama, yaitu Al-Quran dan sunnah yang berupa perbuatan serta perkataan Nabi. Kedua hal tersebut merupakan panduan bagi umat Muslim dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi orang yang beriman dan berakhlak.
Islam lebih meninggikan dan memuliakan orang yang beradab atau berakhlak mulia daripada mereka yang berilmu saja. Maka dari itu, setiap Muslim diperintahkan untuk menyempurnakan akhlaknya sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadist berikut:
إنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاَقًا
Artinya: “Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad)
Lantas, apa saja bentuk adab terhadap diri sendiri dalam ajaran Islam? Untuk mengetahui hal tersebut, simak penjelasannya dalam ulasan berikut ini.
Adab Terhadap Diri Sendiri dalam Agama Islam
Menerapkan adab terhadap diri sendiri bertujuan untuk memperbaiki jiwa agar bahagia, tenang, dan terhindar dari keburukan di dunia maupun akhirat.
KH Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menjelaskan beberapa adab yang sebaiknya dilakukan seorang Muslim terhadap dirinya sendiri, di antaranya sebagai berikut.
1. Membersihkan hati dari penyakit dan kotoran (Taubat)
Salah satu adab terhadap diri sendiri adalah bertaubat dengan mengosongkan diri segala dosa maupun maksiat. Selain itu, umat Muslim juga harus selalu membersihkan hatinya dari pikiran dendam, iri, dengki, syirik, dan berbagai hal tercela lainnya.
Hal ini perlu dilakukan agar seorang Muslim dapat menjalani hidup dengan lebih tenang dan diridhai oleh Allah SWT. Perintah bertaubat ini tercantum dalam Al-Quran Surat An Nur ayat 31 sebagai berikut.
وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: “…. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang beriman supaya klaian beruntung.” (QS An Nur: 31)
2. Senantiasa mengingat Allah SWT (Al Muqarabah)
Adab terhadap diri sendiri selanjutnya adalah senantiasa mengingat bahwa dirinya selalu berada di bawah pengawasan Allah SWT. Seorang Muslim hendaknya meyakini bahwa Allah mengetahui segala rahasia dan perbuatan yang dilakukan manusia sekecil apapun.
Dengan begitu, ia akan menemukan kenyamanan dalam beribadah dan selalu ingin dekat dengan Allah. Tingkatan adab terhadap diri sendiri ini biasanya dilakukan oleh para salaf. Perkara ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadist berikut.
،اعبُدِاللهَ كأنَّكَ تراه فإن لم تكُن تر ا ه فإنَّه يراك، واعدُد نفسكَ في الموتي وإيَّاكَ ودعو ةَ المظلو م فإنَّما تُستجا ب، ومن استطا ع منكم أ ن يشهد الصلا تينْ العشا ء والصبْح ولو حَبْوًافلْيَفْعَل
Artinya: “Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah, jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia yang melihatmu dan anggaplah bahwa seakan-akan kamu hendak mati, jauhi dan hati-hati dari do’a orang-orang yang didzalimi, dan siapa diantara kalian yang mampu untuk shalat subuh dan ‘isya berjamaah walaupun dia merangkah untuk mendatanginya, hendaknya dia lakukan.”
3. Senantiasa beribadah dan beramal saleh (Al Muhasabah)
Adab ini dilakukan dengan cara beribadah dan beramal demi memperoleh ridha Allah SWT. Orang yang ber-muhasabah biasanya sering menghisab diri sendiri dan mengingat amal perbuatannya setiap hari.
Jika seseorang mudah melihat kekurangan, ia akan berusaha menutupinya. Jika melakukan perbuatan yang dilarang, ia akan langsung menyesal dan memohon ampunan.
Hal ini juga sesuai dengan perkataan sahabat Nabi, Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi sebagai berikut.
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ
Artinya: “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal.” (HR At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah)
4. Melawan hawa nafsu (Al Muhajadah)
Hawa nafsu yang dimaksud dalam hal ini cenderung mengarah pada kejahatan atau maksiat. Seorang Muslim yang beradab harus mengetahui bahwa musuh utamanya adalah hawa nafsu sendiri.
Dengan melawan hawa nafsu, jiwa seseorang akan menjadi lebih baik, suci, tenang, dan mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Ankabut ayat 69.
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Ankabut: 69)
- Al-Muraqabah
Muraqabah bermakna bahwa seorang Muslim merasa dirinya setiap saat senantiasa berada di bawah pengawasan Allah SWT, sehingga dia yakin bahwa Allah memperhatikannya, mengetahui seyala rahasianya, mengawasi semua perbuatannya, dan melakukan semua itu terhadap sctiap perbuatan yang dilakukan manusia. Dengan demikian, dia tenggelam dalam kesadaran atas keagungan dan kesempurnaan Allah, merasa akrab dalam dzikir kepada-Nya, menemukan kenyamanan dalam ibadah kepada-Nya, ingin berada di dekat-Nya, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain Nya.
Inilah arti “penyerahan diri” dalam firman Allah
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan.” (An-Nisaa’: 125)
Begitu pula firman-Nya, “Dan barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Luqman: 22)
Inilah hal vang diserukan Allah & dalam firman-Nya, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya” (Al-Bagarah: 235)
Begitu pula firman-Nya, “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian” (An-Nisaa’: 1)
Demikian pula firman-Nya, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu uyat dari Al-Our’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (Yunus: 61)
“Engkau menyembah Allah seolah olah cngkau melihat Nya: jikapun engkau tidak melihatnya maka Dia melihatmu”
Inilah tingkatan yang ditempati oleh para salaf pelopor umat yang saleh —i, karena mereka menerapkan hal ini pada diri mereka, sehingga keyakinan Mereka menjadi sempurna. Mereka pun mencapai derajat Al-Muqarrabin orang orang yang didekatkan kepada Allah). Berikut ini adalah riwayat riwayat yang menjadi saksi atas keberadaan mereka. Al-Junaidi suatu ketika ditanya, “Dengan apa seseorang bisa terbantu untuk menundukkan pandanyan?” Dia menjawab, “Pengetahuanmu bahwa pandangan Dia Yang Maha Melihatmu jauh lebih dahulu daripada pandanganmu kepada objek itu,”
Sutyan Ats-Tsauri berkata, “Engkau barus merasa diawasi oleh Dia yang lidak lersembunyi bagi Nya segala yang tersembunyi. Engkau juga arus berharap kepada Dia yang memiliki ketepatan janji. Dan, engkau harus cemas terhadap Dia yang memiliki hukuman.”
Ibnu Al-Mubarak berkata kepada seseorang, “hendaklah engkau merasa diawasi oleh Allah, wahai fulan” Lantas orang itu bertanya tentang perasaan diawasi itu, maka dia menjawab, “Hendaklah engkau senantiasa merasa seolah olah melihat Allah .”
Abdullah bin Dinar bercerita: Aku pergi ke Makkah bersama Umar bin Al Khaththab. Di tengah perjalanan kami berteduh. Kemudian turunlah seorang penggembala dari atas bukit. Umar berkata, “Hai gembala, juallah kepada kami seekor kambing di antara kawanan kambing itu.” Penggembala menjawab bahwa dia hanyalah seorang budak. “Katakan saja kepada tuanmu bahwa serigala telah memakannya,” kata Umar. Penggembala itu berkata, “Uantas, di mana Allah?” Umar pun menangis. Pagi-pagi sekali, dia datang menernui tuan dari budak itu untuk membeli budak itu, kemudian Umar memerdekakannya.
2. Muhasabah bermakna ketika seorang Muslim beramal siang dan malam dalam hidupnya demi memperoleh kesenangan akhiratnya, dan agar layak meraih kemuliaan akhirat serta keridhaan Allah di sana, sementara dunia adalah masanya untuk beramal, maka dia memandang amal amal wajibnya laksana seorang pedagang memandang modalnya, dan memandang amal amal sunnahnya laksana seorang pedagang memandang labanya. Dia pun memandang tnaksiat serta dosa sebagai kerugian dalan perdagangan. Kemudian dia menyendiri sesaat dengan jiwanya pada penghujung setiap hari guna menghisab dirinya atas amal perbuatannya hari itu. Jika dia melihat suatu kekurangan dalam amal wajib maka dia mencela dirinya, lantas dia menutupi kekurangan tersebut seketika itu juga: apabila amal wajib itu bisa diganti (gadha’) maka dia menggantinya: tetapi apabila itu tidak bisa diganti maka dia menutupinya dengan cara memperbanyak ibadah sunnah. Jika dia melihat suatu kekurangan dalam amal sunnah maka dia mengganti vang kurang itu dan menutupinya. Jika dia melihat suatu kerugian akibat melakukan perbuatan yang dilarang maka dia memohon ampunan, menyesal, bertaubat, dan melakukan perbuatan baik yang menurutnya dapat memperbaiki apa yang sudah dirusaknya.
Inilah yang dimaksud dengan muhasabah lian nafs (menghisab diri), dan ini adalah salah satu cara memperbaiki, mendidik, menyucikan, dan membersihkan jiwa. Diantara dalil dalilnya adalah sebagai berikut, “Dan bersabarlah kalian sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nur: 31)
Penulis :Rijal Fadilah ( Santri Ma’had Aly)